4
PERTANYAAN IMMANUEL KANT
Abad ke-18 di Jerman biasa disebut Aufklarung atau zaman modern
yang di Inggris dikenal dengan Enlightenment. Pemberian nama ini
dikarenakan pada zaman itu manusia mencari cahaya baru dalam rasionya. Immanuel
Kant mendefinisikan zaman itu dengan mengatakan Aufklarung,
dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak baligh (dalam bahasa Jerman
disebut Unmundigkeit), yang dengannya ia sendiri bersalah. ”Apa sebabnya
manusia itu sendiri yang bersalah? Karena manusia itu sendiri tidak menggunakan
kemungkinan yang ada padanya, yaitu rasio. Oleh karenanya semboyan Aufklarung
menjadi Sapere Aude! “Hendaklah anda berani berfikir sendiri!”
Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi
manusia Barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan Reformasi.
Di Inggris pada zaman itu
muncul Deisme, yaitu suatu pendirian pemikir-pemikir yang sungguh
menerima adanya Allah, akan tetapi beranggapan bahwa Allah tidak menghiraukan
penyelenggaraan dunia.
A.
Kehidupan Immanuel Kant
Immanuel Kant dilahirkan di Koenigsberg, suatu kota di Prusia Timur, Jerman
pada tanggal 22 April 1724, dari keluarga pembuat dan penjual alat-alat dari
kulit untuk keperluan menunggang kuda. Neneknya merupakan imigran dari
Skotlandia tetapi pada penelitian yang diadakan kemudian orang menyangsikan
betulkah neneknya berasal dari Skotlandia.
Semula namanya
ditulis dengan Cant, tetapi karena adanya perubahan ejaan yang menentukan bahwa
huruf C juga dibaca seperti S, maka untuk tidak membuat meragukan orang yang
mengenalnya, nama itu ditulis seperti yang dikenal orang sekarang.
Perubahan itu telah
terjadi pada zaman neneknya. Perhatian bagi hal-hal kecil semacam itu antara
lain yang mempengaruhi sikap hidup Kant yang serba teliti lebih-lebih dalam hal
pembagian waktu, sampai ia terkenal sebagai seorang profesor yang bekerja
menurut waktu yang telah ditentukannya.
Dari ibunya Kant mendapat pengaruh agama
yang beraliran Pietisme, ialah suatu
aliran dalam agama yang menghendaki suatu ketaatan yang mendalam dari para pemeluknya.
Itulah sebabnya Kant besar
kepercayaannya kepada Tuhan hanya kehadirannya di gereja sangat terbatas pada
hari-hari besar agama saja.
Akan tetapi ia
hidup dalam zaman scepticsim serta membaca karangan-karangan voltaire dan Hume. Akibat dari itu semua ialah bahwa ia memiliki problem: what
can we know? (apa yang dapat kita ketahui?), what is nature and what are
the the limits of human knowledge? (apakah alam ini dan apakah batas-batas
pengetahuan manusia itu?) Sebagian besar hidup nya telah ia pergunakan untuk
mempelajari logical process of thought (proses penalaran logis), the
external world (dunia eksternal) dan the reality of things (realitas
segala yang wujud).
Kehidupannya
sebagai filsuf di bagi dalam dua periode: zaman pra-kritis dan zama kritis.
Pada zaman pra-kritis ia menganut pendirian rasionalis yang dilancarkan oleh Wolft.
Tetapi karena terpengaruh oleh Hume, berangsur-angsur Kant
meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume itulah yang
membangunkannya dari tidur dogmatisnya. Pada zaman kritisnya, Kant
merubah wajah filsafatnya secara radikal. Ia menanamkan filsafatnya sekaligus
mempertanggungkannya dengan dogmatisme.
Karyanya yang
terkenal dan menampakkan kritisismenya, ialah kritik der Reinen Vernunft
Resion dan Qritique of Pure Reason yang membicarakan Reason dan knowing
process yang ditulisnya selama 15 tahun. Buku kedua adalah kritik der
practischen vernunft (1781) atau bisa disebut Criticue of Practical
Reason alias kritik atas rasio praktis yang menjelaskan filsafat moralnya.
Ketiga, buku Kritik der Arteilskraft (1790) atau Critique of Judgment
alias kritik atas daya pertimbangan.
B. Riwayat Pendidikan Immanuel Kant
Pada masa kecilnya Kant mula-mula memasuki Collegium Friedericianum di Koenigsberg dari tahun 1732 sampai tahun 1740. Pada sekolah itu Kant tidak mendapat banyak ilmu pengetahuan alam dan filsafat yang baginya sangat menarik. Kemudian ia pindah ke Universitas di Koenigsberg, mula-mula belajar teologi, tetapi setelah belajar selama enam tahun ia pindah mempelajari filsafat.
Pada saat itu ia mulai mendapat pengaruh dari Martin Knutzen, seorang profesor dalam mata kuliah logika dan metafisika dan yang merupakan salah seorang penganut filsafat Wollf. Karena dekatnya dengan Martin Knutzen, Kant diizinkan mempergunakan buku-buku milik Martin Knutzen, sehingga pengaruh itu makin mendalam dan karenanya terangsanglah ia untuk mulai mempelajari ilmu pengetahuan Newton.
Kant baru menyelesaikan studinya pada tahun 1755, karena ia terpaksa bekerja sebagai guru privat di beberapa keluarga bangsawan demi kelangsungan studinya, selama kira-kira sembilan tahun. Dalam tahun 1756 ia mencalonkan diri untuk menggantikan Martin Knutzen yang meninggal, tetapi ia tidak berhasil karena Knutzen dipandang sebagai seorang profesor yang luar biasa, sehingga diambil keputusan kursi Knutzen dibiarkan kosong.
Sejak tahun 1764 Kant ditawari menjadi pemegang mata kuliah puisi, tetapi ia menolaknya penawaran semacam itu datang pula dari Universitas Jena, pada tahun 1769, dan ia pun mengambil keputusan yang sama. Selama lima belas tahun sejak ia lulus, ia menjadi dosen luar biasa pada Universitas di Koenigsberg. Di samping itu sejak tahun 1766 ia menjadi asisten perpustakaan, sehingga dari pendapatannya itu ia teringankan dalam hal biaya hidupnya.
Jabatan di perpustakaan pada tahun 1772 diserahkan kembali karena ia merasa tidak sesuai dengan bidangnya, apalagi karena sejak tahun 1770 ia diangkat menjadi profesor dalam logika dan metafisika, dan jabatan itu dipegangnya sampai ia meninggal. Mata kuliah itu dibinanyan lebih dari 40 tahun, bahkan di samping mata kuliah itu ia pun memberikan mata kuliah lain, diantaranya geografi, antropologi, teologi, dan filsafat moral.
C. 4 Pertanyaan Immanuel Kant
Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang
diintrodusir oleh Immanuel kant. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih
dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio (Khuza’i, 2007:25).
Perkembangan ilmu Immanuel Kant mencoba untuk menjebatani pandangan
Rasionalisme dan Empirisisme, teori dalam aliran filsafat Kritisisme adalah
sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dari
filsafat Rasionalisme dan disini kekuatan kritis filsafat sangatlah penting,
karena ia bisa menghindari kemungkinan ilmu pengetahuan menjadi sebuah dogma.
Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki
batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena
itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang
mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah
gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika dan estetika.
Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan mendasar yang timbul
pada pemikiran Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Apakah yang dapat kita ketahui?
2.
Apakah yang boleh kita lakukan?
3.
Sampai di manakah pengharapan kita?
4.
Apakah manusia itu?
Ciri-ciri
kritisisme dapat disimpulkan dalam tiga hal:
1.
Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat
pada subjek dan bukan pada objek.
2.
Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia
untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau
gejalanya atau fenomenanya saja.
3.
Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu
itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur anaximanes apriori
yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori
yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.
Kritik
atas rasio murni :
Kritisisme Immanuel Kant merupakan usaha untuk
mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur apriori
dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman
(seperti “ide-ide bawaan” ala Descrates). Empirisme menekankan unsur-unsur
aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman (seperti Locke
yang menganggap rasio sebagai “lembaran putih” –as a white paper-).
Menurut Kant, rasionalisme maupun empirisme kedua-duanya berat sebelah.
Kant berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan paduan antara sintesa unsur-unsur apriori
dengan unsur-unsur aposteriori.
Walaupun Kant sangat mengagumi empirisme Hume, empirisme yang
bersifat radikal dan konsekuen, maupun ia tidak menyetujui skeptisisme yang
dianut Hume dengan kesimpulannya bahwa dalam ilmu pengetahuan kita tidak mampu
mencapai kepastian. Pada waktu Kant hidup sudah menjadi jelas bahwa ilmu
pengetahuan alam yang dirumuskan oleh newton memperoleh sukses besar.
Hukum-hukum ilmu pengetahuan berlaku selalu dan dimana-mana, misalnya air
mendidih dalam 100 C, selalu begitu dan begitu dan begitulah di mana-mana. Yang
menjadi soal adalah, bagaimana hal itu mungkin terjadi? Syarat-syarat manakah
yang harus terpenuhi untuk menjadikan ilmu pengetahuan alam dapat menghasilkan
pengetahuan yang begitu mutlak dan perlu pasti? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu, Kant mengadakan revolusi Filsafat. Ia berkata bahwa
ia mau mengusahakan suatu “Revolusi Kopernikan”, berarti suatu revolusi
yang dapat dibandingkan dengan perubahan revolusioner yang dijadikan covernicus
dalam bidang astronomi. Dahulu para filsuf telah mencoba memahami pengenalan
dengan mengandaikan bahwa si subjek mengarahkan diri kepada objek. Kant
mengerti pengenalan dengan berpangkal dari anggapan bahwa objek mengarahkan
diri kepada subjek. Sebagaimana copernicus menetapkan bahwa bumi
berputar sekitar matahari dan bukan sebaliknya, demikian pula Kant
memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada subjek bukan objek. Kant
membedakan tiga taraf atau tingkat pengenalan pada taraf indera, akal dan
rasio.
1.Taraf indera
Di atas sudah dikatakan bahwa pengenalan merupakan
sintesa antara unsur apriori dengan unsur aposteriori. Unsur apriori
memainkan peranan bentuk, dan unsur aposteriori memainkan peranan
materi. Menurut Kant, unsur apriori itu sudah terdapat pada indera. Ia
berpendapat bahwa pengetahuan indrawi selalu ada dua bentuk apriori,
yaitu ruang dan waktu. Jadi, ruang tidak merupakan ruang kosong, di mana
benda-benda diletakan; ruang tidak merupakan “ruang dalam dirinya” (ruangan
sincli). Dan waktu bukan merupakan suatu arus tetap, dimana
penginderaan-penginderaan bisa diciptakan. Keduanya merupakan bentuk apriori
sensibilitas. Atau dengan kata lain perkataan, kedua-duanya berakar dalam
satu struktur subjek sendiri.
Pendirian tentang pengenalan inderawi ini
mempunyai implikasi yang penting. Memang ada suatu realitas, terlepas dari subjek, Kant berkata: memang
ada das Ding an Sich selalu tinggal suatu X yang tidak dikenal. Kita
hanya mengenal gejala-gejala (Erschenungen), yang selalu merupakan
sintesa antara hal-hal yang datang dari luar dengan bentuk ruang dan waktu
itulah yang disebut gejala atau penampakan (fenomenon). Hanyalah gejala yang
dikenal, sedangkan benda dalam dirinya sendiri tinggal suatu x, tetapi tidak
dikenal (numena).
2. Taraf Akal
budi
Kant membedakan akal budi Vesrtand dengan Vernunft.
Tugas akal budi ialah menciptakan orde antara data-data inderawi. Dengan
perkataan lain, akal budi menciptakan putusan-putusan. Suatu putusan terdiri
dari subjek dan predikat (bentuk sintesis), misalnya meja itu indah yang
terdiri dari bentuk dan materi. Materi adalah data-data inderawi dan bentuk adalah
apriori, yang terdapat pada akal budi. Bentuk-bentuk apriori ini dinamakan Kant
dengan istilah “kategori”.
Menurut Kant ada 12 kategori, tetapi yang
terpenting dapat disebut di sini hanya dua kategori saja, yaitu substansi
dan kausalitas. Jika kita umpamakan membentuk putusan bahwa A menyebabkan
B, maka sahnya putusan itu tidak berlangsung berasal dari realitas, melainkan
kita harus memikirkan hubungan antara data A dan data B berdasarkan ketegori
kausalitas (sebab-akibat). Maksud Kant kiranya dapat diterangkan sedikit dengan
perumpamaan berikut: jika seorang tertentu memakai kacamata yang kacanya
berwarna merah, maka ia melihat segala benda berwarna merah. Tentu itu tidak
berarti bahwa benda-benda itu sendiri berwarna merah. Keadaan tersebut
disebabkan karena jalan melalui mana pengalaman dilakukan (jalan pengalaman
yang ditempuh), memuat suatu faktor (kacamata berwarna merah) yang karenanya
(karena faktor itu) ia terpaksa hanya bisa melihat hal-hal yang berwarna merah.
Demikian hanyalah dengan akal budi kita. Akal budi mempunyai struktur sedemikian
rupa, sehingga terpaksa mesti memikirkan data-data inderawi sebagai substansi
atau menurut ikatan sebab akibat atau menurut kategori lainnya. Dengan
demikian, Kant sudah menjelaskan shahihnya ilmu pengetahuan alam. Sekarang kita
mengerti juga bahwa Kant betul-betul mengadakan suatu revolusi kopernikan.
ΓΌ Taraf Rasio
Tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari
keputusan-keputusan. Dengan kata lain, rasio mengadakan
argumentasi-argumentasi. Seperti akal budi menggabungkan data-data inderawi dengan
mengadakan putusan-putusan, demikian rasio menggabungkan putusan-putusan. Kant
memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi-argumentasi itu dengan
dipimpin oleh tiga ide: jiwa, dunia dan Allah. Apa yang dimaksud dengan
ide menurut Kant ialah suatu cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam
bidang gejala-gejala psikis (jiwa), dalam bidang kejadian-kejadian jasmani
(dunia) dan dalam bidang segala-galanya yang ada (Allah). Ketiga ide-ide
tersebut mengatur argumentasi-argumentasi kita tentang pengalaman, tetapi
ketika ide sendiri tidak termasuk pengalaman kita. Karena kategori akal budi
hanya berlaku untuk pengalaman, kategori-kategori itu tidak dapat diterapkan pada ide-ide. Tetapi
justru itulah yang diusahakan oleh metafisika. Misalnya, metafisika membuktikan
bahwa Allah adalah penyebab pertama alam semesta. Tetapi dengan itu metafisika
melewati batas-batas yang ditentukan untuk pengenalan manusia. Adanya Allah dan
immortalitas jiwa tidak dapat dibuktikan, sekalipun metafisika
senantiasa berusaha demikian. Usaha metafisika itu sia-sia. Uraian yang panjang
lebar dikemukakan oleh Kant untuk memperlihatkan kepada kita bahwa bukti-bukti
untuk adanya Allah yang diberikan dalam filsafat bersifat kontradiktoris.
Perlu dicatat bahwa bagian terpenting dari buku
Kant, Critique on pure Reason adalah filsafat Kant tentang Trancendental
Aeshethic yang merupakan Trancendental Philosophy, di sini artinya
apriori. Trancendental aesthethic ini membicarakan ruang dan waktu.
Bagian kedua dari trancendental aesthethic ini adalah bagian trancendental
analytic (tahli liy) dan trancendental dialectic (jadaliy).
Yang terpenting dapat membuktikan keterbatasan kemampuan rasio manusia ialah trancendental
logic bagian kedua, yaitu trancendental dialectic yang dinamakan antinomy
of pure reason yang berjumlah empat dan terdiri dari masing-masing tesis
dan antitesis yang dalam bahasa arab di pakai istilah tana qudat al-aql
al-kha lish.
v Kritik
atas rasio praktis
Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio
disebut rasio teoritis atau menurut istilah Kant sendiri rasio murni. Akan
tetapi, di samping rasio murni terdapat apa yang disebut rasio praktis, yaitu
rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan; atau dengan kata lain, rasio
yang memberi perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio
praktis memberikan perintah yang mutlak yamg disebutnya sebagai imperatif
kategori. Misalnya, bila kita meminjam barang kepunyaan orang lain, maka kita
harus mengembalikan kepada pemiliknya. Atau bisa juga berupa pernyataan negatif
berupa larangan, seperti jangan membunuh orang yang tak bersalah. Kant kemudian
bertanya, “Bagaimana ‘keharusan’ itu mungkin? Apakah yang memungkinkan
keharusan itu?” prinsip pokok untuk menjawab pertanyaan ini ialah, kalau kita
harus, maka kita bisa juga. Seluruh tingkah laku manusia menjadi mustahil, jika
kita wajib membuat apa yang tidak bisa dilakukan. Kant beranggapan bahwa ada
tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan,
hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio
praktis. Ketiga postulat dimaksud itu ialah:
1.
Kebebasan kehendak,
2.
Immoralitas jiwa,
3.
Adanya Allah.
Jadi, apa yang tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoritis
harus diandaikan atas dasar rasio praktis. Tetapi tentang kebebasan kehendak,
immoralitas jiwa dan adanya Allah kita semua tidak mempunyai pengetahuan
teoritis. Menerima ketiga postulat tersebut dinamakan Kant sebagai glaube
alias kepercayaan. Maka dari sinilah kita bisa melihat Kant sebagai filsuf yang
mengulik filsafat untuk memperteguh keimanannya; keimanan kristianinya. Coba
bandingkan dengan filsuf islam seperti ibn Rusyd yang berupaya
menjadikan filsafat sebagai alat penguat keimanan sebagaimana yang tampak dalam
kitabnya Fasl al-Maqa’l Fii masyarakat bayn al-Hikmat wa al-Shari’at min
al-ittisal!.
v Kritik
atas daya pertimbangan
Pada bagian ini kita bisa menganalisis “kritik ketiga” dari
Kant. Dalam kesempatan ini kiranya cukuplah disebutkan problem-problem yang
dibentangkan dalam karyanya, Critique of Judgement. Sebagai konsekuensi
dari “Kritik atas rasio umum” dan “kritik atas rasio praktis” adalah munculnya
dua lapangan tersendiri, yaitu: lapangan keperluan mutlak di bidang alam dan
lapangan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Maksud kritik der
Urteilskraft ialah mengerti kedua persesuaian kedua lapangan ini. Hal ini
terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat
subektif dan objektif. Kalau finalitas bisa bersifat subjektif, manusia
mengarahkan objek pada diri manusia itu sendiri. Inilah yang terjadi di dalam
pengalaman estetis (seni). Pengalaman estetis itu diselidiki dalam bagian
pertama bukunya, yaitu berjudul Kritik der Astheischen Urteilskraft.
Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain
dari benda-benda alam. Finalitas dalam alam itu diselidiki dalam bagian kedua,
yaitu kritik der Theologischen Unteilskraft.
A.
Tujuan Filsafat Immanuel Kant
Melalui
filsafatnya Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar
maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme
dan sifat sepihak emfirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi
pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme
mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa
empirisme, sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman,
tetapi melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang
radikal. Kant bermaksud mengadakan penelitiaan yang kritis terhadap rasio
murni.
Menurut
Hume, ada jurang yang lebar antara kebenaran-kebenaran rasio murni dengan realitas
dalam dirinya sendiri. Menurut Kant, syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan
adalah:
a.
Bersifat umum dan mutlak,
b.
Memberi pengetahuan yang baru.
Dari 4 pertanyaan Immanuel Kant diatas dapat disimpulkan:
Pertanyaan 1 dan 2 (apa yang bisa saya lakukan dan
bisa saya harapkan?) menunjukkan kesadaran Kant bahwa tidak semua hal bisa
diketahui, selalu ada yang terlepas dari daya pengetahuan kita. Sedang
pertanyaan nomor 3 (apa yang harus saya lakukan?) menunjukkan adanya pengakuan
akan adanya yang lain yang membatasi aktivitas manusiawi kita, keberadaan yang
lain itulah yang kemudian menekankan apa yang harus kita lakukan, bukannya apa
yang ingin kita lakukan. Keinginan diri selalu dibatasi kemestian dari yang
lain, karena itu keinginan tergantikan oleh keharusan.
Referensi:
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari
sejarah Filsafat 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Khuza’i, Rodliyah. 2007. Dialog Epistimologi Mohammad Iqbal
dan Charles S. Peirce. Bandung: PT. Refika Aditama.
S. Praja, Juhaya. 2008. Aliran-aliran filsafat dan Etika.
Cetakan ketiga. Jakarta; Prenada Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar