Minggu, 25 September 2016

4 Pertanyaan Immanuel Kant



4 PERTANYAAN IMMANUEL KANT
Abad ke-18 di Jerman biasa disebut Aufklarung atau zaman modern yang di Inggris dikenal dengan Enlightenment. Pemberian nama ini dikarenakan pada zaman itu manusia mencari cahaya baru dalam rasionya. Immanuel Kant mendefinisikan zaman itu dengan mengatakan Aufklarung, dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak baligh (dalam bahasa Jerman disebut Unmundigkeit), yang dengannya ia sendiri bersalah. ”Apa sebabnya manusia itu sendiri yang bersalah? Karena manusia itu sendiri tidak menggunakan kemungkinan yang ada padanya, yaitu rasio. Oleh karenanya semboyan Aufklarung menjadi Sapere Aude!Hendaklah anda berani berfikir sendiri!” Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia Barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan Reformasi.
 Di Inggris pada zaman itu muncul Deisme, yaitu suatu pendirian pemikir-pemikir yang sungguh menerima adanya Allah, akan tetapi beranggapan bahwa Allah tidak menghiraukan penyelenggaraan dunia.

A.   Kehidupan Immanuel Kant
Immanuel Kant dilahirkan di Koenigsberg, suatu kota di Prusia Timur, Jerman pada tanggal 22 April 1724, dari keluarga pembuat dan penjual alat-alat dari kulit untuk keperluan menunggang kuda. Neneknya merupakan imigran dari Skotlandia tetapi pada penelitian yang diadakan kemudian orang menyangsikan betulkah neneknya berasal dari Skotlandia.
Semula namanya ditulis dengan Cant, tetapi karena adanya perubahan ejaan yang menentukan bahwa huruf C juga dibaca seperti S, maka untuk tidak membuat meragukan orang yang mengenalnya, nama itu ditulis seperti yang dikenal orang sekarang.
Perubahan itu telah terjadi pada zaman neneknya. Perhatian bagi hal-hal kecil semacam itu antara lain yang mempengaruhi sikap hidup Kant yang serba teliti lebih-lebih dalam hal pembagian waktu, sampai ia terkenal sebagai seorang profesor yang bekerja menurut waktu yang telah ditentukannya.
Dari ibunya Kant mendapat pengaruh agama yang beraliran Pietisme, ialah suatu aliran dalam agama yang menghendaki suatu  ketaatan yang mendalam dari para pemeluknya. Itulah sebabnya Kant besar kepercayaannya kepada Tuhan hanya kehadirannya di gereja sangat terbatas pada hari-hari besar agama saja.
Akan tetapi ia hidup dalam zaman scepticsim serta membaca karangan-karangan voltaire dan Hume. Akibat dari itu semua ialah bahwa ia memiliki problem: what can we know? (apa yang dapat kita ketahui?), what is nature and what are the the limits of human knowledge? (apakah alam ini dan apakah batas-batas pengetahuan manusia itu?) Sebagian besar hidup nya telah ia pergunakan untuk mempelajari logical process of thought (proses penalaran logis), the external world (dunia eksternal) dan the reality of things (realitas segala yang wujud).
Kehidupannya sebagai filsuf di bagi dalam dua periode: zaman pra-kritis dan zama kritis. Pada zaman pra-kritis ia menganut pendirian rasionalis yang dilancarkan oleh Wolft. Tetapi karena terpengaruh oleh Hume, berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume itulah yang membangunkannya dari tidur dogmatisnya. Pada zaman kritisnya, Kant merubah wajah filsafatnya secara radikal. Ia menanamkan filsafatnya sekaligus mempertanggungkannya dengan dogmatisme.
Karyanya yang terkenal dan menampakkan kritisismenya, ialah kritik der Reinen Vernunft Resion dan Qritique of Pure Reason yang membicarakan Reason dan knowing process yang ditulisnya selama 15 tahun. Buku kedua adalah kritik der practischen vernunft (1781) atau bisa disebut Criticue of Practical Reason alias kritik atas rasio praktis yang menjelaskan filsafat moralnya. Ketiga, buku Kritik der Arteilskraft (1790) atau Critique of Judgment alias kritik atas daya pertimbangan.

B. Riwayat Pendidikan Immanuel Kant

Pada masa kecilnya Kant mula-mula memasuki Collegium Friedericianum di Koenigsberg dari tahun 1732 sampai tahun 1740. Pada sekolah itu Kant tidak mendapat banyak ilmu pengetahuan alam dan filsafat yang baginya sangat menarik. Kemudian ia pindah ke Universitas di Koenigsberg, mula-mula belajar teologi, tetapi setelah belajar selama enam tahun ia pindah mempelajari filsafat.

Pada saat itu ia mulai mendapat pengaruh dari Martin Knutzen, seorang profesor dalam mata kuliah logika dan metafisika dan yang merupakan salah seorang penganut filsafat Wollf. Karena dekatnya dengan Martin Knutzen, Kant diizinkan mempergunakan buku-buku milik Martin Knutzen, sehingga pengaruh itu makin mendalam dan karenanya terangsanglah ia untuk mulai mempelajari ilmu pengetahuan Newton.

Kant baru menyelesaikan studinya pada tahun 1755, karena ia terpaksa bekerja sebagai guru privat di beberapa keluarga bangsawan demi kelangsungan studinya, selama kira-kira sembilan tahun. Dalam tahun 1756 ia mencalonkan diri untuk menggantikan Martin Knutzen yang meninggal, tetapi ia tidak berhasil karena Knutzen dipandang sebagai seorang profesor yang luar biasa, sehingga diambil keputusan kursi Knutzen dibiarkan kosong.

Sejak tahun 1764 Kant ditawari menjadi pemegang mata kuliah puisi, tetapi ia menolaknya penawaran semacam itu datang pula dari Universitas Jena, pada tahun 1769, dan ia pun mengambil keputusan yang sama. Selama lima belas tahun sejak ia lulus, ia menjadi dosen luar biasa pada Universitas di Koenigsberg. Di samping itu sejak tahun 1766 ia menjadi asisten perpustakaan, sehingga dari pendapatannya itu ia teringankan dalam hal biaya hidupnya.

Jabatan di perpustakaan pada tahun 1772 diserahkan kembali karena ia merasa tidak sesuai dengan bidangnya, apalagi karena sejak tahun 1770 ia diangkat menjadi profesor dalam logika dan metafisika, dan jabatan itu dipegangnya sampai ia meninggal. Mata kuliah itu dibinanyan lebih dari 40 tahun, bahkan di samping mata kuliah itu ia pun memberikan mata kuliah lain, diantaranya geografi, antropologi, teologi, dan filsafat moral.

 

C. 4 Pertanyaan Immanuel Kant

Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel kant. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio (Khuza’i, 2007:25). Perkembangan ilmu Immanuel Kant mencoba untuk menjebatani pandangan Rasionalisme dan Empirisisme, teori dalam aliran filsafat Kritisisme adalah sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dari filsafat Rasionalisme dan disini kekuatan kritis filsafat sangatlah penting, karena ia bisa menghindari kemungkinan ilmu pengetahuan menjadi sebuah dogma.
Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Apakah yang dapat kita ketahui?
2.    Apakah yang boleh kita lakukan?
3.    Sampai di manakah pengharapan kita?
4.    Apakah manusia itu?
Ciri-ciri kritisisme dapat disimpulkan dalam tiga hal:
1.     Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
2.    Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
3.    Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur anaximanes apriori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.
Kritik atas rasio murni :
Kritisisme Immanuel Kant merupakan usaha untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman (seperti “ide-ide bawaan” ala Descrates). Empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman (seperti Locke yang menganggap rasio sebagai “lembaran putih” –as a white paper-). Menurut Kant, rasionalisme maupun empirisme kedua-duanya berat sebelah.
Kant berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan  paduan antara sintesa unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.
Walaupun Kant sangat mengagumi empirisme Hume, empirisme yang bersifat radikal dan konsekuen, maupun ia tidak menyetujui skeptisisme yang dianut Hume dengan kesimpulannya bahwa dalam ilmu pengetahuan kita tidak mampu mencapai kepastian. Pada waktu Kant hidup sudah menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan alam yang dirumuskan oleh newton memperoleh sukses besar. Hukum-hukum ilmu pengetahuan berlaku selalu dan dimana-mana, misalnya air mendidih dalam 100 C, selalu begitu dan begitu dan begitulah di mana-mana. Yang menjadi soal adalah, bagaimana hal itu mungkin terjadi? Syarat-syarat manakah yang harus terpenuhi untuk menjadikan ilmu pengetahuan alam dapat menghasilkan pengetahuan yang begitu mutlak dan perlu pasti? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Kant mengadakan revolusi Filsafat. Ia berkata bahwa ia mau mengusahakan suatu “Revolusi Kopernikan”, berarti suatu revolusi yang dapat dibandingkan dengan perubahan revolusioner yang dijadikan covernicus dalam bidang astronomi. Dahulu para filsuf telah mencoba memahami pengenalan dengan mengandaikan bahwa si subjek mengarahkan diri kepada objek. Kant mengerti pengenalan dengan berpangkal dari anggapan bahwa objek mengarahkan diri kepada subjek. Sebagaimana copernicus menetapkan bahwa bumi berputar sekitar matahari dan bukan sebaliknya, demikian pula Kant memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada subjek bukan objek. Kant membedakan tiga taraf atau tingkat pengenalan pada taraf indera, akal dan rasio.
1.Taraf indera
Di atas sudah dikatakan bahwa pengenalan merupakan sintesa antara unsur apriori dengan unsur aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan bentuk, dan unsur aposteriori memainkan peranan materi. Menurut Kant, unsur apriori itu sudah terdapat pada indera. Ia berpendapat bahwa pengetahuan indrawi selalu ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Jadi, ruang tidak merupakan ruang kosong, di mana benda-benda diletakan; ruang tidak merupakan “ruang dalam dirinya” (ruangan sincli). Dan waktu bukan merupakan suatu arus tetap, dimana penginderaan-penginderaan bisa diciptakan. Keduanya merupakan bentuk apriori sensibilitas. Atau dengan kata lain perkataan, kedua-duanya berakar dalam satu struktur subjek sendiri.
Pendirian tentang pengenalan inderawi ini mempunyai implikasi yang penting. Memang ada suatu realitas,  terlepas dari subjek, Kant berkata: memang ada das Ding an Sich selalu tinggal suatu X yang tidak dikenal. Kita hanya mengenal gejala-gejala (Erschenungen), yang selalu merupakan sintesa antara hal-hal yang datang dari luar dengan bentuk ruang dan waktu itulah yang disebut gejala atau penampakan (fenomenon). Hanyalah gejala yang dikenal, sedangkan benda dalam dirinya sendiri tinggal suatu x, tetapi tidak dikenal (numena).
2.  Taraf Akal budi
Kant membedakan akal budi Vesrtand dengan Vernunft. Tugas akal budi ialah menciptakan orde antara data-data inderawi. Dengan perkataan lain, akal budi menciptakan putusan-putusan. Suatu putusan terdiri dari subjek dan predikat (bentuk sintesis), misalnya meja itu indah yang terdiri dari bentuk dan materi. Materi adalah data-data inderawi dan bentuk adalah apriori, yang terdapat pada akal budi. Bentuk-bentuk apriori ini dinamakan Kant dengan istilah “kategori”.
Menurut Kant ada 12 kategori, tetapi yang terpenting dapat disebut di sini hanya dua kategori saja, yaitu substansi dan kausalitas. Jika kita umpamakan membentuk putusan bahwa A menyebabkan B, maka sahnya putusan itu tidak berlangsung berasal dari realitas, melainkan kita harus memikirkan hubungan antara data A dan data B berdasarkan ketegori kausalitas (sebab-akibat). Maksud Kant kiranya dapat diterangkan sedikit dengan perumpamaan berikut: jika seorang tertentu memakai kacamata yang kacanya berwarna merah, maka ia melihat segala benda berwarna merah. Tentu itu tidak berarti bahwa benda-benda itu sendiri berwarna merah. Keadaan tersebut disebabkan karena jalan melalui mana pengalaman dilakukan (jalan pengalaman yang ditempuh), memuat suatu faktor (kacamata berwarna merah) yang karenanya (karena faktor itu) ia terpaksa hanya bisa melihat hal-hal yang berwarna merah. Demikian hanyalah dengan akal budi kita. Akal budi mempunyai struktur sedemikian rupa, sehingga terpaksa mesti memikirkan data-data inderawi sebagai substansi atau menurut ikatan sebab akibat atau menurut kategori lainnya. Dengan demikian, Kant sudah menjelaskan shahihnya ilmu pengetahuan alam. Sekarang kita mengerti juga bahwa Kant betul-betul mengadakan suatu revolusi kopernikan.   
ΓΌ   Taraf Rasio
Tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari keputusan-keputusan. Dengan kata lain, rasio mengadakan argumentasi-argumentasi. Seperti akal budi menggabungkan data-data inderawi dengan mengadakan putusan-putusan, demikian rasio menggabungkan putusan-putusan. Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi-argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide: jiwa, dunia dan Allah. Apa yang dimaksud dengan ide menurut Kant ialah suatu cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala-gejala psikis (jiwa), dalam bidang kejadian-kejadian jasmani (dunia) dan dalam bidang segala-galanya yang ada (Allah). Ketiga ide-ide tersebut mengatur argumentasi-argumentasi kita tentang pengalaman, tetapi ketika ide sendiri tidak termasuk pengalaman kita. Karena kategori akal budi hanya berlaku untuk pengalaman, kategori-kategori itu  tidak dapat diterapkan pada ide-ide. Tetapi justru itulah yang diusahakan oleh metafisika. Misalnya, metafisika membuktikan bahwa Allah adalah penyebab pertama alam semesta. Tetapi dengan itu metafisika melewati batas-batas yang ditentukan untuk pengenalan manusia. Adanya Allah dan immortalitas jiwa tidak dapat dibuktikan, sekalipun metafisika senantiasa berusaha demikian. Usaha metafisika itu sia-sia. Uraian yang panjang lebar dikemukakan oleh Kant untuk memperlihatkan kepada kita bahwa bukti-bukti untuk adanya Allah yang diberikan dalam filsafat bersifat kontradiktoris.
Perlu dicatat bahwa bagian terpenting dari buku Kant,  Critique on pure Reason  adalah filsafat Kant tentang Trancendental Aeshethic yang merupakan Trancendental Philosophy, di sini artinya apriori. Trancendental aesthethic ini membicarakan ruang dan waktu. Bagian kedua dari trancendental aesthethic ini adalah bagian trancendental analytic (tahli liy) dan trancendental dialectic (jadaliy). Yang terpenting dapat membuktikan keterbatasan kemampuan rasio manusia ialah trancendental logic bagian kedua, yaitu trancendental dialectic yang dinamakan antinomy of pure reason yang berjumlah empat dan terdiri dari masing-masing tesis dan antitesis yang dalam bahasa arab di pakai istilah tana qudat al-aql al-kha lish.

v  Kritik atas rasio praktis
Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut rasio teoritis atau menurut istilah Kant sendiri rasio murni. Akan tetapi, di samping rasio murni terdapat apa yang disebut rasio praktis, yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan; atau dengan kata lain, rasio yang memberi perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yamg disebutnya sebagai imperatif kategori. Misalnya, bila kita meminjam barang kepunyaan orang lain, maka kita harus mengembalikan kepada pemiliknya. Atau bisa juga berupa pernyataan negatif berupa larangan, seperti jangan membunuh orang yang tak bersalah. Kant kemudian bertanya, “Bagaimana ‘keharusan’ itu mungkin? Apakah yang memungkinkan keharusan itu?” prinsip pokok untuk menjawab pertanyaan ini ialah, kalau kita harus, maka kita bisa juga. Seluruh tingkah laku manusia menjadi mustahil, jika kita wajib membuat apa yang tidak bisa dilakukan. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan, hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat dimaksud itu ialah:
1.      Kebebasan kehendak,
2.     Immoralitas jiwa,
3.     Adanya Allah.
Jadi, apa yang tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoritis harus diandaikan atas dasar rasio praktis. Tetapi tentang kebebasan kehendak, immoralitas jiwa dan adanya Allah kita semua tidak mempunyai pengetahuan teoritis. Menerima ketiga postulat tersebut dinamakan Kant sebagai glaube alias kepercayaan. Maka dari sinilah kita bisa melihat Kant sebagai filsuf yang mengulik filsafat untuk memperteguh keimanannya; keimanan kristianinya. Coba bandingkan dengan filsuf islam seperti ibn Rusyd yang berupaya menjadikan filsafat sebagai alat penguat keimanan sebagaimana yang tampak dalam kitabnya Fasl al-Maqa’l Fii masyarakat bayn al-Hikmat wa al-Shari’at min al-ittisal!.
v  Kritik atas daya pertimbangan
Pada bagian ini kita bisa menganalisis “kritik ketiga” dari Kant. Dalam kesempatan ini kiranya cukuplah disebutkan problem-problem yang dibentangkan dalam karyanya, Critique of Judgement. Sebagai konsekuensi dari “Kritik atas rasio umum” dan “kritik atas rasio praktis” adalah munculnya dua lapangan tersendiri, yaitu: lapangan keperluan mutlak di bidang alam dan lapangan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Maksud kritik der Urteilskraft ialah mengerti kedua persesuaian kedua lapangan ini. Hal ini terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subektif dan objektif. Kalau finalitas bisa bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia itu sendiri. Inilah yang terjadi di dalam pengalaman estetis (seni). Pengalaman estetis itu diselidiki dalam bagian pertama bukunya, yaitu berjudul Kritik der Astheischen Urteilskraft. Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam. Finalitas dalam alam itu diselidiki dalam bagian kedua, yaitu kritik der Theologischen Unteilskraft.

A.   Tujuan Filsafat Immanuel Kant
Melalui filsafatnya Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak emfirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme, sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal. Kant bermaksud mengadakan penelitiaan yang kritis terhadap rasio murni.
Menurut Hume, ada jurang yang lebar antara kebenaran-kebenaran rasio murni dengan realitas dalam dirinya sendiri. Menurut Kant, syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah:
a.      Bersifat umum dan mutlak,
b.     Memberi pengetahuan yang baru.
Dari 4 pertanyaan Immanuel Kant diatas dapat disimpulkan:
Pertanyaan 1 dan 2 (apa yang bisa saya lakukan dan bisa saya harapkan?) menunjukkan kesadaran Kant bahwa tidak semua hal bisa diketahui, selalu ada yang terlepas dari daya pengetahuan kita. Sedang pertanyaan nomor 3 (apa yang harus saya lakukan?) menunjukkan adanya pengakuan akan adanya yang lain yang membatasi aktivitas manusiawi kita, keberadaan yang lain itulah yang kemudian menekankan apa yang harus kita lakukan, bukannya apa yang ingin kita lakukan. Keinginan diri selalu dibatasi kemestian dari yang lain, karena itu keinginan tergantikan oleh keharusan.

Referensi:
 Hadiwijono, Harun. 1980. Sari sejarah Filsafat 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Khuza’i, Rodliyah. 2007. Dialog Epistimologi Mohammad Iqbal dan Charles S. Peirce. Bandung: PT. Refika Aditama.
S. Praja, Juhaya. 2008. Aliran-aliran filsafat dan Etika. Cetakan ketiga. Jakarta; Prenada Media.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar