HADITS RIWAYAT BUKHARI TENTANG
NIAT DAN HIJRAH
Pengertian Hijrah
Hijrah adalah
perpindahan dari satu situasi atau kondisi yang satu ke kondisi atau situasi
yang lain. Hijrah merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Allah SWT, bahkan
bisa wajib tatkala sangat diperlukan. Secara garis besarnya hijrah itu terdiri
yang bersifat fisik yaitu perpindahan tempat, dan yang bersifat non fisik yaitu
perpindahan situasi atau mengubah keadaan. Hijrah bisa bernilai ibadah, jika
untuk Allah dan mengikuti Rasul-Nya, dan tidak bernilai ibadah bila dilakukan
bukan untuk mencarai ridla Allah SW. Beliau menandaskan lagi dalam sabdanya:
6. ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Barangsiapa yang hijrahnya untuk kepentingan duniawi, atau kepentingan
wanita yang dinikahi, maka manfaat hijrahnya pun sesuai dengan apa yang dituju.
Hadits ini juga
mengisyaratkan bahwa hijrah itu ada yang syar’i, ada pula yang tidak. Hijrah
yang syar’i adalah perpindahan untuk kepentingan tegaknya al-Islam, demi meraih
ridla Allah. Sedangkan hijrah yang tidak bernilai syar’i adalah yang bukan
kepentingan jalan Allah, dan tidak bertujuan meraih ridla-Nya. Oleh karena itu,
supaya segalanya bernilai ibadah, ikhlaskan tujuan untuk mencari ridla Allah
dan melakukannya berdasar syari’ah Allah, serta mengikuti sunnah Rasul-Nya.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أُنْزِلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعِينَ فَمَكَثَ بِمَكَّةَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ
سَنَةً ثُمَّ أُمِرَ بِالْهِجْرَةِ فَهَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ فَمَكَثَ بِهَا
عَشْرَ سِنِينَ ثُمَّ تُوُفِّيَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Ibnu Abbas,
meriwayatkan bahwa Rasûl SAW menerima wahyu ketika berusia empat puluh tahun,
kemudian tetap di Mekah selama tiga belas tahun, kemudian diperintah hijrah.
Beliau hijrah ke Madinah dan berada di sana selama sepuluh tahun hingga wafat.
Hr. Ahmad (164-241H), al-Bukhari (194-256H),
Da’wah Islam
yang dilakukan Rasul SAW pada awalnya secara sembunyi-sembunyi, kemudian
bertambah luas hingga jumlah kaum muslimin empat puluh orang, yang kemudian
dibina secara khusus di Bait al-Arqam. Kaum Quraisy berusaha menghalangi
risalah dengan berbagai usaha, mulai dari berbagai tawaran, rayuan hingga
kekerasan. Sejak tahun keempat kenabian, banyak kaum muslimin yang disiksa
secara kejam, hingga mendorong Rasul untuk menghijrahkan shahabatnya ke Habsyah
pada pertengahan tahun kelima. Rombongan pertama sebanyak sepuluh orang, antara
lain Utsman bin Affan beserta istrinya, Ruqayah putri Rasul; Abdurrahman bin
Auf, dan Zubair bin Awwam. Rombongan kedua dipimpin Ja’far sebanyak seratus
orang. Pada bulan Dzul-hijah tahun keenam kenabian, Umar bin Khathab dan Hamzah
masuk Islam, yang mengakibatkan semakin menambah kebencian musyrikin.
Pada tahun
ketujuh dari kenabian, Bani Hasyim diboikot perekonomiannya hingga
menyengsarakan. Walaupun kaum muslimin mendapat cobaan berat dari segala penjuru,
terutama penindasan kaum musyrikin, baik dalam bidang ekonomi maupun politik,
semua itu tidak menurunkan semangat Rasul SAW dalam berda’wah. Pada tahun itu
juga, Abu Thalib sebagai pimpinan suku Bani Hasyim dan Siti Khadijah isteri
Rasul yang mendukung da’wah baik materil maupun immateril, wafat.
Pada bulan
syawal tahun kesepuluh dari kenabian (Mei-Juni 619 M), Rasul berangkat ke
Tha’if. Namun ternyata orang Tha`if belum meraih hidayah, Rasul diperlakukan
tidak layak oleh mereka bahkan mendapat lemparan batu dan kotoran hingga
terluka. Menurut sebagian riwayat, setelah Rasul SAW kembali ke Mekkah maka
tahun itu pula Isra dan Mi’raj terjadi, sekaligus turun perintah shalat lima
waktu.
Da’wah
selanjutnya dilakukan dengan mendatangi berbagai lapisan masyarakat seperti
Bani Kilab, Bani Hanifah, Bani Amir, dan ternyata mendapat sambutan yang
menggembirakan. Pada musim haji berikutnya, berdatanganlah masyarakat dari
berbagai penjuru, yang dimanfaatkan Rasul SAW untuk menda’wahi berbagai kafilah
dari luar penduduk Mekah. Di awal tahun kesebelas dari kenabian banyak orang
Yatsrib yang masuk Islam seperti: Suwaib bin Shamit, Iyas bin Mu’adz,
Tufail bin Amr, dan Dlamad al-Azdi.
Pada musim haji
tahun kesebelas dari kenabian (Juli 620 M), jamaah Yatsrib masuk Islam. Mereka
adalah kaum muda Bani Najar seperti As’ad bin Zararah dan Auf bin Haris,
dari Bani Zuraiq seperti Rafi’ bin Malik, dari bani Salmah seperti
Qathbah bin Amir, dari Bani Haram bernama Uqbah, dan dari Bani Ubaid bernama
Jabir bin Abdillah. Mereka bertekad akan menda’wahkan Islam di Yatsrib sebagai
kampung halamannya.
Pada musim haji
tahun keduabelas (Juli 621 M), bersama lima orang yang sudah masuk Islam tahun
sebelumnya (di luar Jabir), tujuh penduduk Yatsrib bangsa Khazraj yaitu Mu’adz,
Dzakwan, Ubadah, Yazid dan Abbas serta bangsa Aus yaitu Abul-Haitsam dan Uwaim
berbai’at kepada Rasul di Aqabah untuk diangkat menjadi juru da’wah. Inilah
yang dinamakan Bai’at al-Aqabah pertama. Rasul pun mengutus Mush’ab bin Umair
untuk ikut ke Yatsrib sebagai utusan dan melihat situasi di sana.
Pada musim haji
tahun berikutnya (Juni 622 M), sebanyak 73 orang Yatsrib menunaikan haji dan
berbai’at pada Rasul sebagai juru da’wah Islam, yang dinamakan Baiat al-Aqabah
kedua. Mereka juga mengundang Rasul untuk hijrah ke Yatsrib, dilatarbelakangi
antara lain: (1) memperluas da’wah, (2) menyelamatkan muslimin yang tertindas
di Mekah dan (3) menjalin persaudaraan antara Aus dan Khazraj yang telah lama
bermusuhan.
Di sisi lain,
semakin luasnya jangkauan da’wah Rasul dan bertambahnya jumah muslimin,
berakibat kaum musyrikin semakin membenci Rasul. Mulai saat itu kaum muslimin
diperintah Rasul untuk hijrah ke Yatsrib secara berangsur. Pada hari Kamis, 26
Shafar (12-september- 622 M) para pembesar Quraisy semacam parlemen, berkumpul
di Dar al-Nadwa yang diikuti oleh Abu Jahl bin Hisyam, Jubair bin Muth’im,
Tha’imah, Harits, Syaibah, Utbah, Abu Sufyan, al-Nazhr, Abu al-Bukhturi,
Zam’ah, Hakim, Nabih, Munabbih, dan Umayah bin Khalaf. Mereka bersepakat untuk
mengepung dan membunuh Rasul SAW. Rasul mengetahui ancaman kaum musyrikin
tersebut dan siang harinya beliau mengunjungi rumah Abu Bakr untuk mengajak
hijrah, dan kembali ke rumahnya menunggu waktu malam tiba.
Pada malam 27
Shafar (13-9-622 M), Rasul SAW dan Abu Bakr meninggalkan rumah, setelah
berpesan pada Ali bin Abi Thalib, untuk menempati tempat tidur beliau, kemudian
menuju Goa Tsur. Pada malam itu pula pembesar Quraisy sebanyak sebelas orang
mengepung rumah Rasul SAW untuk melaksanakan pesan Dar al-Nadwa, padahal di rumah
tersebut hanya ada Ali bin Abi Thalib. Rasul dan Abu Bakr berada di Goa Tsur
selama tiga malam, hingga malam Ahad tanggal 30 Shafar.
Pada hari Senin
1 Rabi al-Awal, Rasul melanjutkan perjalanan menuju Yatsrib. Senin 8
Rabi’ul-Awal /23-September-622 M (perjalanan Tsur-Quba ditempuh dalam waktu
satu pekan), Rasul dengan Abu Bakr tiba di Quba dan mendirikan Masjid di depan
Rumah Kalstum bin al-Hadm. Di Quba, Rasul menginap empat malam dan hari Jum’at
melanjutkan perjalanan. Waktu zhuhur sampai di daerah Bani Salim bin ‘Awf,
perintah shalat Jum’at turun dan melakukan shalat Jum’at dengan berjamaah
bersama seratus muslimin. Setelah shalat Jum’at Rasul melanjutkan perjalanan
dan sampai di Yatsrib tanggal 12 rabi’ul Awal. Inilah hijrah terbesar yang
dilakukan Rasul SAW bersama kaum muslimin. Kota Yatsrib kemudian diberi nama
al-Madinah al-Munawarah, sebagai pusat bersinarnya syi’ar Islam ke seluruh
penjuru dunia.
Hijrah menurut
bahasa berarti pindah, baik secara fisik maupun non fisik. Al-Qurthubi (w.671H)
menandaskan:
الهجْرة معْنَاهَا
الإنْتِقَال مِنْ مَوْضِعٍ إلَى مَوْضِعٍ وَقَصْدُ تَرْكِ الأوَّل إِيْثَارًا
لِلثَّانِي
Hijrah berarti pindah dari satu tempat ke tempat lain dan menyengaja
meninggalkan satu posisi awal menuju posisi yang ke dua.
Pengertian
semacam ini bisa dipahami bahwa hijrah itu perpindahan posisi, baik secara
fisik maupun non fisik. Perpindahan fisik adalah pindah dari tempat yang
diduduki, sedangkan pindah non fisik adalah pindah pendirian, pergantian sikap,
atau perubahan tingkah laku. Menurut mufasir, orang yang berhijrah adalah:
تَرَكُوا دِيَارَهُم
خَوْفَ الفِتْنة وَالإضْطِهَاد فِي ذَات الله
Meninggalkan kampung halaman karena Allah demi menyelamatkan diri dari
kekacauan dan penindasan.
Mahmud Hijazi
menjelaskan bahwa yang berhijrah adalah:
فََارَقُوا الأهْلَ
وَالأوْطَانَ لإعْلاَءِ كَلِمَةِ الله وَنَصْرِ دِيْنِهِ وَلَحَقُوا بِالنَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم
Meninggalkan keluarga dan kampung halaman untuk menegakkan kalimah Allah,
membela agama dan mengikuti Rasul SAW.
Orang yang
berhijrah karena didasari iman dan untuk jihad, maka akan meraih rahmat dan
ampunan Allah SWT. Firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ
ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ
يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan
berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Qs.2:218.
Selanjutnya
arti hijrah tersirat dalam sabda Rasul SAW, sebagai berikut:
الُمهَاجِرُمَنْ
هَاجَرَ مَا نَهَى الله عَنْهُ
Orang hijrah adalah yang meninggalkan segala yang dilarang Allah SWT. Hr. Ahmad (164-241H), Ibn Hibban (w.354 H)
Menurut
riwayat al-Thabarani (260-360H), dalam khutbah Haji Wada, Rasul bersabda:
المُهَاجِرُ
مَنْ هَاجَرَ السَّيِّئَاتِ
Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan segala keburukan.
Hikmah dan Fungsi Hijrah
Wahbah
al-Zuhayli,, berpendapat bahwa hijrah fisik yang dilakukan Rasul dan para
shahabatnya, cukup banyak hikmah dan fungsinya. Hikmah dan fungsi hijrah yang
paling penting antara lain: (1) Tegaknya syi’ar Islam
dan menghindarkan konflik keagamaan. (2) Mencari dan mendapatkan
kemungkinan tersebarnya ajaran Islam. Jika kaum muslimin yang tidak memiliki
peluang untuk mendapat bimbingan Islam dan memahami hukumnya di suatu tempat,
maka sebaiknya hijrah ke tempat lain untuk mendapatkannya. (3) Persiapan
program untuk terwujudnya pemerintahan Islami dan penyebarluasan syari’at Islam
ke seluruh penjuru dunia. Semua itu nampak sekali dapat diwujudkan melalui
hijrah dari Mekah ke Madinah.
Hijrah Fisik
Ibn al-Arabi,
berpendapat bahwa hijrah fisik diperlukan sepanjang masa hingga hari kiamat
apabila berlatar belakang sebagai berikut: (1) Melepaskan diri dari
desakan perang yang merugikan muslimin, menuju ke tempat yang menguntungkan
Islam dan muslimin, seperti perpindahan dari Dar al-Harbi ke Dar
al-Islam. (2) Menghindarkan diri dari perbuatan bid’ah
demi menyelamatkan al-Sunnah. (3) Perpindahan dari suatu tempat
yang penuh maksiat dan perbuatan haram, ke tempat bersih supaya tidak terbawa
arus orang durhaka. (4) Melepaskan diri dan ancaman penyakit yang apabila tidak
berpindah akan membahayakan badan. (5)Menyelamatkan diri dari ancaman orang
jahat karena berada di tempat yang kurang aman. (6) Menyelamatkan kekayaan yang
sangat berguna bagi perjuangan Islam.
Memerhatikan uraian di atas,
jelaslah bahwa hijrah fisik itu tetap diperlukan, hanya bentuk dan sifatnya
bisa beraneka ragam. Namun tentang perpindahan dari Mekah ke Madinah yang
diperintah Rasul SAW kepada shahabatnya hanya berlaku sebelum Futuh Mekah.
Perhatikan hadits riwayat al-Bukhari berikut.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا
اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
Ibn Abbas menerangkan bahwa Rasul SAW bersabda: Tidak ada kewajiban
hijrah setelah Futuh Mekah, melainkan jihad dan niat, maka jika diseru perang
segeralah penuhi panggilan tersebut. Hr. al-Bukhari (194-256H)
Dengan
demikian, semua hijrah itu dilakukan demi fi sabil Allah yaitu membela
agama Allah. Adapun yang dimaksud لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ tidak ada hijrah setelah Futuh Mekah, adalah
tidak ada kewajiban hijrah dari Mekah ke Madinah. Hal ini tampak sekali, bahwa
Rasul SAW tidak mewajibkan muslim Mekah hijrah ke Madinah, setelah Mekah beliau
taklukkan dalam Futuhnya. Tanggal 10 Ramadlan tahun 8H, Rasul SAW meraih Futuh
Mekah dan turun Qs. Al-Nashr, dilanjutkan dengan umrah al-Fath.
Tanggal 25
Ramadlan tahun tersebut, Khalid bin Walid menghancurkan berhala di jazirah
Arab. Inilah kemenangan gemilang yang diraih kaum muslimin pada bulan Ramadlan.
Setelah Futuh Mekah itu, berdasar hadits ini hijrah dimanifestasikan dalam memperbaiki
kualitas umat dalam segala aspek kehidupannya. Itulah salah satu makna dari jihad
dan niyyah, sebagaimana ditandaskan hadits ini.
Beberapa Ibrah
Dari kajian
hadits di atas dapat diambil beberapa ibrah sebagai berikut: (1) Niat merupakan
penentu atas nilai suatu amal, baik ucap, sikap maupun perbuatan. (2) Hijrah,
nilainya bukan hanya ditentukan oleh cara, tapi juga dipengaruhi tujuan. Hijrah
yang baik adalah yang ditujukan untuk kepentingan Allah dan Rasul-Nya. (3)
Hijrah secara fisik dalam arti perpindahan tempat bersifat situasional. Hijrah
yang mutlak dilakukan adalah perubahan sikap, dari yang kurang baik menjadi
baik, terutama dalam jihad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar