Kamis, 13 Oktober 2016

Kebangkitan Nasional: Budi Utomo atau Sarekat Dagang Islam?


Kebangkitan Nasional: Budi Utomo atau Sarekat Dagang Islam?


Kebangkitan Nasional: Budi Utomo atau Sarekat Dagang Islam? 20 Mei 2013 15:30:33 Diperbarui: 24 Juni 2015 13:17:55 Dibaca : 2,894 Komentar : 5 Nilai : 2 Jika ditilik dari aspek kesejarahan, momentum lahirnya Budi Utomo yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional tidak terlalu pas. Saya malah lebih sreg dan yakin jika Hari Kebangkitan Nasional itu tanggal 16 Oktober 1905 saat Sarekat Dagang Islam didirikan oleh Haji Samanhudi. Ada beberapa alasan mengapa hal itu dikemukakan. Pertama, tahun lahir Budi Utomo berdiri pada 20 Mei 1908, sedangkan Sarekat Dagang Islam mulai beroperasi pada 16 Oktober 1905. Dari sisi siapa yang duluan, tentu Sarekat Dagang Islam yang memulakannya. Tahun berdiri ini penting karena acap menjadi faktor utama untuk menentukan siapa yang lebih dulu berkiprah. Dari kelahiran ini, argumentasi yang dikemukakan kemudian akan bertemu dengan analisis yang lain.
Adakalanya, sebuah organisasi berdiri karena dipengaruhi berdirinya organisasi lain. Bisa karena persaingan, bisa pula karena respons dari yang pertama berdiri. Maka itu, soal tanggal, bulan, dan tahun berdiri ini penting untuk dikemukakan sebelum alasan lain. Kedua, sifat perjuangan Sarekat Dagang Islam memang bergerak di bidang perdagangan, khususnya batik, di kota Solo. Namun, pergerakan dalam jejaring pasar batik ini memiliki dimensi lain sebagai alat perjuangan. Sejarawan di masa Orde Lama memang tak menyetujui jika Sarekat Dagang Islam dianggap sebagai pencetus gerakan politik. Tapi, jangan lupa, penguasaan akan pasar itu lekat dengan politik. Sekarang saja kita lihat, keberhasilan pemimpin politik bisa dilihat dari seberapa mumpuni dia menguasai pasar. Dalam konteks ini, hubungan ekspor-impor, perdagangan nasional, mengatasi inflasi, tabungan pembangunan, sampai dengan pertunbuhan nasional.
Tegasnya, sebuah perubahan politik terjadi disebabkan oleh pengaruh pasar. Jatuhnya Suharto adalah bukti betapa ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah yang tak bisa menanggulangi krisis moneter. Sarekat Dagang Islam juga menjalin kerja sama dengan wirausahawan China atau Tiongkok, Kong Sing. Ini bentuk kerja sama modern agar pemasaran batik menginternasional. Sarekat ternyata mampu menjadi entitas bagi gerakan pembaruan sistem organisasi Islam.
 Soal mengapa ada embel-embel Islam, tentu itu pilihan ideologis Haji Samanhudi. Apalagi di masa itu, kaum pribumi yang mayoritas muslim, tidak mendapatkan tempat di pemerintah kolonial. Kemiskinan juga menjadi problem buat masyarakat muslim Indonesia. Dan Sarekat berikhtiar mengatasi persoalan kemiskinan dengan membangun jejaring bisnis yang kuat dan islami. Lantas, bagaimana dengan Budi Utomo? Mari kita simak. Budi Utomo lahir sebagai kebijakan perimbangan pemerintah kolonial Belanda.
 Organisasi ini berdiri untuk mengimbangi Djamiat Choir yang berdiri pada 17 Juli 1905 atau 13 Jumadil Awal 1323 Hijriah. Djamiat Choir ini basisnya pendidikan dan ditaja oleh para sayid atau bangsawan Arab. Djamiat mendirikan sekolah di Tanah Abang dan Krukut. Waktunya hampir berbarengan dengan kebijakan politik etis. Perkembangan Djamiat dan Sarekat tentu saja membuat pemerintah Belanda gerah.
 Bukan apa-apa, gerakan yang berbasis pada pendidikan dan perdagangan, ujungnya menjadikan kesadaran untuk merdeka menjadi mengemuka. Kalau itu yang terjadi, perlawanan terhadap pemerintah kolonial akan semakin menjadi. Ini juga ditunjang perubahan politik di China dengan Revolusi China oleh Dr. Sun Yat Sen. Revolusi China sendiri terjadi pada 1911. Ini didahului pemberontakan Bokser untuk membebaskan China dari pengaruh Inggris dan Kekaisaran Shinto Jepang.
Pemberontakan ini memang gagal. Tapi sepuluh tahun berikutnya, Revolusi China pecah dan berhasil. Salah satu kuncinya ialah peran muslim China yang diakui sendiri oleh Dr. Sun Yat Sen. Pemerintah Hindia Belanda khawatir, perkembangan Islam di bidang pendidikan dan perdagangan membawa dampak buruk. Maka, dengan kekhasan penjajah, dilancarkan politik pecah belah. Dibikin organisasi tandingan. Dan Budi Utomo dinawaitukan untuk itu. Peran Bupati Serang Banten PAA Achmad Djajadiningrat sangat sentral dalam pembentukan Budi Utomo. Karena Djamiat berasal dari kalangan bangsawan Arab, Budi Utomo juga hendak menyamainya dengan mengusung bangsawan Jawa.
 Dan dari sisi nama, Budi Utomo serupa dengan Djamiat Choir. Djamiat Choir ini bermakna jamaah yang baik. Dan nama Budi Utomo selaras dengan itu. Klop sudah. Yang mencengangkan dan tidak banyak ditulis sejarawan, Dr. Sutomo sebagai pendiri Budi Utomo sosok yang konsekuen dengan ajaran agama Jawa. Ia bahkan tak mendirikan salat. Bahkan kata Dr. Sutomo, daripada naik haji, lebih baik ke Boven Digul.
Argumentasi pendiri Budi Utomo ini terekam dengan baik oleh Haji Mas Mansyur, Ketua Persyarikatan Muhammadiyah. Ia berdialog dengan Dr. Sutomo dan Sutomo mengatakan hal yang demikian. Yang tidak boleh dilupakan, tidak semua orang bisa masuk Budi Utomo. Jika hanya orang biasa, tidak bisa masuk ke Budi Utomo meski ia orang Jawa. Bahkan yang lebih mengejutkan, Budi Utomo menolak pelaksanaan cita-cita Persatuan Indonesia. Ini menjadi wajar kalau kita tilik dari aspek awal berdirinya yang diinisiasi pemerintah kolonial Belanda dan Bupati Serang Banten yang merupakan kepanjangan tangan Belanda. Sarekat Dagang Islam juga mendapat perlakuan yang sama. Jika Budi Utomo untuk mengimbangi Djamiat Choir, pemerintah kolonial membentuk Sarekat Dagang Islamiah di Bogor pada 1909. Tapi, peranan organisasi tandingan ini tidak siginifikan. Kucuran duit dari pemerintah kolonial tak menjamin eksistensinya. Bahkan media yang diterbitkan organisasi tandingan ini tak mampu menyaingi buletin Taman Pewarta yang diterbitkan Sarekat Dagang Islam. Tiga belas tahun buletin ini terbit. Sebuah masa yang panjang untuk ukuran media saat itu. *
 Mungkin sedikit yang paham bagaimana ceritanya sampai 20 Mei dijadikan Hari Kebangkitan Nasional. Kita sebentar ke masa lalu. Ketika itu kabinet Hatta sedang memerintah, 1948-1949. Hatta mendapat serangan balik dari pelaku kudeta 3 Juli 1946, yakni Tan Malaka yang Marxis Murba dan Mohammad Yamin. Hatta mencoba mengadakan peringatakn Hari Kebangkitan Nasional. Hal ini diakibatkan pembelaan Tan Malaka dan Mohammad Yamin diangkat di media cetak dan radio. Hatta menilai, hal itu akan menumbuhkan perpecahan bangsa yang sedang menghadapi perang kemerdekaan.
Hatta kemudian mencari solusi dengan membuat Hari Kebangkitan Nasional. Dipilihlah organisasi yang sudah mati dan dianggap memelopori gerakan kebangkitan pada abad ke-20. Budi Utomo kemudian dipilih. Padahal, masa itu, deretan organisasi yang lebih awal bahkan rekam jejak sejarah perjuangannya masih dirasakan, masih ada. Yang dipilih bukan Sarekat Dagang Islam yang berdiri 16 Oktober 1905, Persyarikatan Muhammadiyah (18 November 1912), Persatuan Islam (12 September 1923), atau Nahdlatul Ulama (31 Januari 1926). Pemerintah kita memang acap menjalankan politik deislamisasi serta ahistoris. Mungkin mereka keberatan jika hari bersejarah diambil dari momentum penting sejarah organisasi Islam. Padahal, ini wajar.
 Dengan mayoritas penduduk muslim, ya masuk akal kalau banyak organisasi Islam bermunculan dan menjadi perekat bangsa. Apalagi organisasi itu rerata bervisi kemerdekaan Indonesia. Agak aneh kalau kemudian peran umat Islam ini dimarginalisasi, seolah tidak dianggap. Padahal, ya biasa dan wajar saja. Terkecuali peran politik Islam ini berada di negara yang mayoritas penduduknya nonmuslim. Kalau begitu kejadiannya, wajar saja kalau perannya kecil. Tapi ini kan di Indonesia.
Apa ruginya kalau kita menempatkan sejarah pada posisinya agar menjadi alat belajar. Contohlah Jerman. Meski punya latar kelam dengan Nazi di Perang Dunia II dan kekejaman terhadap Yahudi, Jerman terbuka saja. Mereka mengakui ada sejarah kelam dalam rekam jejak kenegaraannya. Dan itu tak masalah, bahkan menjadi khazanah tersendiri. Buktinya sekarang, Jerman menjadi negara maju dan sangat modern. Indonesia mestinya juga demikian. Namun, apa pun itu, momentum Hari Kebangkitan Nasional ini bukan sekadar perayaan. Tapi ia mesti mengejawantah dalam alam pikiran dan tindakan yang lebih konkret dan sistematis.
Bagaimana memberantas korupsi, memberantas terorisme, memerangi kemiskinan, dan menyejahterakan penduduknya. Soal latar hari itu diperingati, bolehlah diadakan diskursus yang lebih serius dan mendalam. Sebab, sejarah itu bukan sekadar romantisme masa lalu.











Belajar Dari Sarekat Dagang Islam 1905

SAREKAT Dagang Islam didirikan oleh Haji Samanhudi pada 16 Oktober 1905 di Surakarta. Tujuannya adalah mengumpulkan para pedagang pribumi muslim untuk menandingi para pedagang China yang pada saat itu memiliki hak lebih luas dan status lebih tinggi dibanding pengusaha pribumi. Di sisi lain, Kolonial Belanda yang berkuasa pada saat itu selalu membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan pedagang pribumi muslim. Mereka beranggapan bahwa Islam adalah ancaman serius yang harus segera dimusnahkan.
Kondisi yang serba sulit ini tidak membuat para pedagang pribumi muslim menjadi lemah. Sebaliknya, malah menumbuhkan kesadaran bahwa mereka harus mengumpulkan kekuatan demi tegaknya keadilan di bumi pertiwi. Organisasi ini mendapat simpati dari rakyat Indonesia karna sifatnya yang selalu berpihak kepada pribumi. Berbeda dengan organisasi Boedi Oetomo yang didirikan 3 tahun kemudian, organisasi eksklusif yang anggotanya hanya dari kalangan pegawai negeri yang setia terhadap pemerintahan kolonial Belanda dan tujuannya hanya untuk kepentingan golongan yang sempit.
Seperti yang dikatakan oleh KH Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Sarekat Islam “Tidak pernah sekalipun BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda.”
Dalam perjalanannya Sarekat Dagang Islam berubah nama menjadi Sarekat Islam pada tahun 1912 dan diketuai oleh Haji Omar Said (HOS) Tjokroaminoto. Sejak saat itu lingkup perjuangannya tidak hanya bidang perdagangan saja tapi sudah merambah ke panggung politik, bidang akademik dan yang lainnya.
Ada hal menarik dari fakta-fakta ini yaitu titik balik sejarah bangsa Indonesia dan kebangkitannya ditandai oleh bersatunya para pengusaha pribumi dalam satu ikatan organisasi. Merupakan fenomena yang bisa menjadi inspirasi bagi perjuangan ummat Islam Indonesia saat ini.
Dapat kita saksikan sekarang bahwa perjuangan Islam Indonesia dalam bidang ekonomi masih sangat sedikit. Berbeda dengan perjuangan dalam bidang lain seperti pendidikan, pemurnian aqidah, da’wah parlemen, perbaikan fiqih ibadah dan lainnya yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun sehingga menghasilkan pengalaman yang luar biasa dan mumpuni. Perjuangan dalam bidang ekonomi baru sekedar riak-riak kecil yang belum begitu populer muncul ke permukaan. Itupun baru dalam tataran ekonomi makro seperti bermunculannya perbankan syari’ah dan asuransi syari’ah, padahal ekonomi Islam tidak hanya sebatas itu, mulai dari tatanan ekonomi skup terkecil yaitu rumah tangga hingga perekonomian global internasional telah diatur dalam Islam.
Dahulu pun, perjuangan da’wah Rasulullah Saw dibarengi dengan meningkatnya kekuatan ekonomi umat. Bergabungnya para saudagar yang kuat dalam bidang ekonomi seperti ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Bakar, Umar bin Khattab dan yang lainnya menjadikan perjuangan Rasulullah semakin cepat pergerakannya. Hingga Islam dapat masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan pula.
Oleh karena itu, agenda besar kita sekarang adalah menerapkan model perjuangan Sarekat Dagang Islam tahun 1905 ke dalam perjuangan Islam Indonesia saat ini. Dengan cara menyatukan para konglomerat muslim dalam satu ikatan aqidah sebagai basis kekuatan, melestarikan trend kewirausahaan kepada para pemuda muslim sehingga tidak lagi menjadi ‘jongos’ di institusi-institusi yang dikendalikan oleh orang-orang yang jelas-jelas permusuhannya kepada Islam. Dan juga terus menyempurnakan ekonomi Islam makro pada tataran nasional dan menggalakkan ekonomi Islam pada tataran yang paling kecil yaitu rumah tangga. Diharapkan baik pemerintah maupun masyarakat tidak lagi berkiblat pada prinsip kapitalis sekuler dalam menjalankan ekonomi,  akan tetapi roda perekonomian dapat berjalan sesuai dengan asas Islam, yang berprinsip “saling menguntungkan dan mendahulukan kesejahteraan umat dibanding kesejahteraan individu”.
Jika ini sungguh-sungguh terjadi, maka dengan izin Allah kebangkitan nasional jilid 2 akan terulang kembali. Kemerdekaan sejati pun dapat diraih, yaitu terbebasnya negara kita dari dikte Amerika dan sekutunya, yang kuku-kuku busuknya telah menancap di tubuh media, militer, perdagangan dan akademisi liberal. Wallahu a’lam. [azam/islampos]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar