Kebangkitan Nasional: Budi Utomo
atau Sarekat Dagang Islam?
Kebangkitan Nasional: Budi Utomo atau Sarekat Dagang Islam?
20 Mei 2013 15:30:33 Diperbarui: 24 Juni 2015 13:17:55 Dibaca : 2,894 Komentar
: 5 Nilai : 2 Jika ditilik dari aspek kesejarahan, momentum lahirnya Budi Utomo
yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional tidak terlalu pas. Saya
malah lebih sreg dan yakin jika Hari Kebangkitan Nasional itu tanggal 16
Oktober 1905 saat Sarekat Dagang Islam didirikan oleh Haji Samanhudi. Ada
beberapa alasan mengapa hal itu dikemukakan. Pertama, tahun lahir Budi Utomo
berdiri pada 20 Mei 1908, sedangkan Sarekat Dagang Islam mulai beroperasi pada
16 Oktober 1905. Dari sisi siapa yang duluan, tentu Sarekat Dagang Islam yang
memulakannya. Tahun berdiri ini penting karena acap menjadi faktor utama untuk
menentukan siapa yang lebih dulu berkiprah. Dari kelahiran ini, argumentasi
yang dikemukakan kemudian akan bertemu dengan analisis yang lain.
Adakalanya, sebuah organisasi berdiri karena dipengaruhi
berdirinya organisasi lain. Bisa karena persaingan, bisa pula karena respons
dari yang pertama berdiri. Maka itu, soal tanggal, bulan, dan tahun berdiri ini
penting untuk dikemukakan sebelum alasan lain. Kedua, sifat perjuangan Sarekat
Dagang Islam memang bergerak di bidang perdagangan, khususnya batik, di kota
Solo. Namun, pergerakan dalam jejaring pasar batik ini memiliki dimensi lain
sebagai alat perjuangan. Sejarawan di masa Orde Lama memang tak menyetujui jika
Sarekat Dagang Islam dianggap sebagai pencetus gerakan politik. Tapi, jangan
lupa, penguasaan akan pasar itu lekat dengan politik. Sekarang saja kita lihat,
keberhasilan pemimpin politik bisa dilihat dari seberapa mumpuni dia menguasai pasar.
Dalam konteks ini, hubungan ekspor-impor, perdagangan nasional, mengatasi
inflasi, tabungan pembangunan, sampai dengan pertunbuhan nasional.
Tegasnya, sebuah perubahan politik terjadi disebabkan oleh
pengaruh pasar. Jatuhnya Suharto adalah bukti betapa ketidakpercayaan rakyat
terhadap pemerintah yang tak bisa menanggulangi krisis moneter. Sarekat Dagang
Islam juga menjalin kerja sama dengan wirausahawan China atau Tiongkok, Kong
Sing. Ini bentuk kerja sama modern agar pemasaran batik menginternasional.
Sarekat ternyata mampu menjadi entitas bagi gerakan pembaruan sistem organisasi
Islam.
Soal mengapa ada
embel-embel Islam, tentu itu pilihan ideologis Haji Samanhudi. Apalagi di masa
itu, kaum pribumi yang mayoritas muslim, tidak mendapatkan tempat di pemerintah
kolonial. Kemiskinan juga menjadi problem buat masyarakat muslim Indonesia. Dan
Sarekat berikhtiar mengatasi persoalan kemiskinan dengan membangun jejaring
bisnis yang kuat dan islami. Lantas, bagaimana dengan Budi Utomo? Mari kita
simak. Budi Utomo lahir sebagai kebijakan perimbangan pemerintah kolonial
Belanda.
Organisasi ini
berdiri untuk mengimbangi Djamiat Choir yang berdiri pada 17 Juli 1905 atau 13
Jumadil Awal 1323 Hijriah. Djamiat Choir ini basisnya pendidikan dan ditaja
oleh para sayid atau bangsawan Arab. Djamiat mendirikan sekolah di Tanah Abang
dan Krukut. Waktunya hampir berbarengan dengan kebijakan politik etis.
Perkembangan Djamiat dan Sarekat tentu saja membuat pemerintah Belanda gerah.
Bukan apa-apa,
gerakan yang berbasis pada pendidikan dan perdagangan, ujungnya menjadikan
kesadaran untuk merdeka menjadi mengemuka. Kalau itu yang terjadi, perlawanan
terhadap pemerintah kolonial akan semakin menjadi. Ini juga ditunjang perubahan
politik di China dengan Revolusi China oleh Dr. Sun Yat Sen. Revolusi China
sendiri terjadi pada 1911. Ini didahului pemberontakan Bokser untuk membebaskan
China dari pengaruh Inggris dan Kekaisaran Shinto Jepang.
Pemberontakan ini memang gagal. Tapi sepuluh tahun
berikutnya, Revolusi China pecah dan berhasil. Salah satu kuncinya ialah peran
muslim China yang diakui sendiri oleh Dr. Sun Yat Sen. Pemerintah Hindia
Belanda khawatir, perkembangan Islam di bidang pendidikan dan perdagangan
membawa dampak buruk. Maka, dengan kekhasan penjajah, dilancarkan politik pecah
belah. Dibikin organisasi tandingan. Dan Budi Utomo dinawaitukan untuk itu.
Peran Bupati Serang Banten PAA Achmad Djajadiningrat sangat sentral dalam
pembentukan Budi Utomo. Karena Djamiat berasal dari kalangan bangsawan Arab,
Budi Utomo juga hendak menyamainya dengan mengusung bangsawan Jawa.
Dan dari sisi nama,
Budi Utomo serupa dengan Djamiat Choir. Djamiat Choir ini bermakna jamaah yang
baik. Dan nama Budi Utomo selaras dengan itu. Klop sudah. Yang mencengangkan
dan tidak banyak ditulis sejarawan, Dr. Sutomo sebagai pendiri Budi Utomo sosok
yang konsekuen dengan ajaran agama Jawa. Ia bahkan tak mendirikan salat. Bahkan
kata Dr. Sutomo, daripada naik haji, lebih baik ke Boven Digul.
Argumentasi pendiri Budi Utomo ini terekam dengan baik oleh
Haji Mas Mansyur, Ketua Persyarikatan Muhammadiyah. Ia berdialog dengan Dr.
Sutomo dan Sutomo mengatakan hal yang demikian. Yang tidak boleh dilupakan,
tidak semua orang bisa masuk Budi Utomo. Jika hanya orang biasa, tidak bisa
masuk ke Budi Utomo meski ia orang Jawa. Bahkan yang lebih mengejutkan, Budi
Utomo menolak pelaksanaan cita-cita Persatuan Indonesia. Ini menjadi wajar
kalau kita tilik dari aspek awal berdirinya yang diinisiasi pemerintah kolonial
Belanda dan Bupati Serang Banten yang merupakan kepanjangan tangan Belanda.
Sarekat Dagang Islam juga mendapat perlakuan yang sama. Jika Budi Utomo untuk
mengimbangi Djamiat Choir, pemerintah kolonial membentuk Sarekat Dagang
Islamiah di Bogor pada 1909. Tapi, peranan organisasi tandingan ini tidak
siginifikan. Kucuran duit dari pemerintah kolonial tak menjamin eksistensinya.
Bahkan media yang diterbitkan organisasi tandingan ini tak mampu menyaingi
buletin Taman Pewarta yang diterbitkan Sarekat Dagang Islam. Tiga belas tahun
buletin ini terbit. Sebuah masa yang panjang untuk ukuran media saat itu. *
Mungkin sedikit yang
paham bagaimana ceritanya sampai 20 Mei dijadikan Hari Kebangkitan Nasional.
Kita sebentar ke masa lalu. Ketika itu kabinet Hatta sedang memerintah,
1948-1949. Hatta mendapat serangan balik dari pelaku kudeta 3 Juli 1946, yakni
Tan Malaka yang Marxis Murba dan Mohammad Yamin. Hatta mencoba mengadakan
peringatakn Hari Kebangkitan Nasional. Hal ini diakibatkan pembelaan Tan Malaka
dan Mohammad Yamin diangkat di media cetak dan radio. Hatta menilai, hal itu
akan menumbuhkan perpecahan bangsa yang sedang menghadapi perang kemerdekaan.
Hatta kemudian mencari solusi dengan membuat Hari
Kebangkitan Nasional. Dipilihlah organisasi yang sudah mati dan dianggap
memelopori gerakan kebangkitan pada abad ke-20. Budi Utomo kemudian dipilih.
Padahal, masa itu, deretan organisasi yang lebih awal bahkan rekam jejak
sejarah perjuangannya masih dirasakan, masih ada. Yang dipilih bukan Sarekat
Dagang Islam yang berdiri 16 Oktober 1905, Persyarikatan Muhammadiyah (18
November 1912), Persatuan Islam (12 September 1923), atau Nahdlatul Ulama (31
Januari 1926). Pemerintah kita memang acap menjalankan politik deislamisasi
serta ahistoris. Mungkin mereka keberatan jika hari bersejarah diambil dari
momentum penting sejarah organisasi Islam. Padahal, ini wajar.
Dengan mayoritas
penduduk muslim, ya masuk akal kalau banyak organisasi Islam bermunculan dan
menjadi perekat bangsa. Apalagi organisasi itu rerata bervisi kemerdekaan
Indonesia. Agak aneh kalau kemudian peran umat Islam ini dimarginalisasi,
seolah tidak dianggap. Padahal, ya biasa dan wajar saja. Terkecuali peran
politik Islam ini berada di negara yang mayoritas penduduknya nonmuslim. Kalau
begitu kejadiannya, wajar saja kalau perannya kecil. Tapi ini kan di Indonesia.
Apa ruginya kalau kita menempatkan sejarah pada posisinya
agar menjadi alat belajar. Contohlah Jerman. Meski punya latar kelam dengan
Nazi di Perang Dunia II dan kekejaman terhadap Yahudi, Jerman terbuka saja.
Mereka mengakui ada sejarah kelam dalam rekam jejak kenegaraannya. Dan itu tak
masalah, bahkan menjadi khazanah tersendiri. Buktinya sekarang, Jerman menjadi
negara maju dan sangat modern. Indonesia mestinya juga demikian. Namun, apa pun
itu, momentum Hari Kebangkitan Nasional ini bukan sekadar perayaan. Tapi ia
mesti mengejawantah dalam alam pikiran dan tindakan yang lebih konkret dan
sistematis.
Bagaimana memberantas korupsi, memberantas terorisme,
memerangi kemiskinan, dan menyejahterakan penduduknya. Soal latar hari itu
diperingati, bolehlah diadakan diskursus yang lebih serius dan mendalam. Sebab,
sejarah itu bukan sekadar romantisme masa lalu.
Belajar Dari
Sarekat Dagang Islam 1905
SAREKAT Dagang Islam didirikan oleh Haji Samanhudi pada 16 Oktober
1905 di Surakarta. Tujuannya adalah mengumpulkan para pedagang pribumi muslim
untuk menandingi para pedagang China yang pada saat itu memiliki hak lebih luas
dan status lebih tinggi dibanding pengusaha pribumi. Di sisi lain, Kolonial
Belanda yang berkuasa pada saat itu selalu membuat kebijakan-kebijakan yang
merugikan pedagang pribumi muslim. Mereka beranggapan bahwa Islam adalah
ancaman serius yang harus segera dimusnahkan.
Kondisi yang serba sulit ini tidak membuat para pedagang pribumi
muslim menjadi lemah. Sebaliknya, malah menumbuhkan kesadaran bahwa mereka
harus mengumpulkan kekuatan demi tegaknya keadilan di bumi pertiwi. Organisasi
ini mendapat simpati dari rakyat Indonesia karna sifatnya yang selalu berpihak
kepada pribumi. Berbeda dengan organisasi Boedi Oetomo yang didirikan 3 tahun
kemudian, organisasi eksklusif yang anggotanya hanya dari kalangan pegawai
negeri yang setia terhadap pemerintahan kolonial Belanda dan tujuannya hanya
untuk kepentingan golongan yang sempit.
Seperti yang dikatakan oleh KH Firdaus AN, mantan Ketua Majelis
Syuro Sarekat Islam “Tidak pernah sekalipun BO membahas tentang kesadaran
berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana
memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu
Belanda.”
Dalam perjalanannya Sarekat Dagang Islam berubah nama menjadi
Sarekat Islam pada tahun 1912 dan diketuai oleh Haji Omar Said (HOS)
Tjokroaminoto. Sejak saat itu lingkup perjuangannya tidak hanya bidang
perdagangan saja tapi sudah merambah ke panggung politik, bidang akademik dan
yang lainnya.
Ada hal menarik dari fakta-fakta ini yaitu titik balik sejarah
bangsa Indonesia dan kebangkitannya ditandai oleh bersatunya para pengusaha
pribumi dalam satu ikatan organisasi. Merupakan fenomena yang bisa menjadi inspirasi
bagi perjuangan ummat Islam Indonesia saat ini.
Dapat kita saksikan sekarang bahwa perjuangan Islam Indonesia dalam
bidang ekonomi masih sangat sedikit. Berbeda dengan perjuangan dalam bidang
lain seperti pendidikan, pemurnian aqidah, da’wah parlemen, perbaikan fiqih
ibadah dan lainnya yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun sehingga
menghasilkan pengalaman yang luar biasa dan mumpuni. Perjuangan dalam bidang
ekonomi baru sekedar riak-riak kecil yang belum begitu populer muncul ke
permukaan. Itupun baru dalam tataran ekonomi makro seperti bermunculannya
perbankan syari’ah dan asuransi syari’ah, padahal ekonomi Islam tidak hanya
sebatas itu, mulai dari tatanan ekonomi skup terkecil yaitu rumah tangga hingga
perekonomian global internasional telah diatur dalam Islam.
Dahulu pun, perjuangan da’wah Rasulullah Saw dibarengi dengan
meningkatnya kekuatan ekonomi umat. Bergabungnya para saudagar yang kuat dalam
bidang ekonomi seperti ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Bakar,
Umar bin Khattab dan yang lainnya menjadikan perjuangan Rasulullah semakin
cepat pergerakannya. Hingga Islam dapat masuk ke Nusantara melalui jalur
perdagangan pula.
Oleh karena
itu, agenda besar kita sekarang adalah menerapkan model perjuangan Sarekat
Dagang Islam tahun 1905 ke dalam perjuangan Islam Indonesia saat ini. Dengan
cara menyatukan para konglomerat muslim dalam satu ikatan aqidah sebagai basis
kekuatan, melestarikan trend kewirausahaan kepada para pemuda muslim
sehingga tidak lagi menjadi ‘jongos’ di institusi-institusi yang dikendalikan
oleh orang-orang yang jelas-jelas permusuhannya kepada Islam. Dan juga terus
menyempurnakan ekonomi Islam makro pada tataran nasional dan menggalakkan
ekonomi Islam pada tataran yang paling kecil yaitu rumah tangga. Diharapkan baik
pemerintah maupun masyarakat tidak lagi berkiblat pada prinsip kapitalis
sekuler dalam menjalankan ekonomi, akan tetapi roda perekonomian dapat
berjalan sesuai dengan asas Islam, yang berprinsip “saling menguntungkan dan
mendahulukan kesejahteraan umat dibanding kesejahteraan individu”.
Jika ini sungguh-sungguh terjadi, maka dengan izin Allah kebangkitan
nasional jilid 2 akan terulang kembali. Kemerdekaan sejati pun dapat diraih,
yaitu terbebasnya negara kita dari dikte Amerika dan sekutunya, yang kuku-kuku
busuknya telah menancap di tubuh media, militer, perdagangan dan akademisi
liberal. Wallahu a’lam. [azam/islampos]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar