Moralitas
sebagai Dasar Pijakan Manusia
Hal mendasar yang tidak dapat
dilepaskan begitu saja dalam membicarakan pembenaran moral, adalah persoalan
yang berkenaan dengan pertanyaan bagaimana seseorang dapat hidup dengan cara
yang baik setiap saat. Mengingat bahwa manusia itu terlahir dalam keadaan
“baik”, sehingga menjadi tugasnya untuk selalu mempertahankan kebaikan tersebut
terutama dalam hubungan sosialnya. Maka tanggung jawab hakiki dari
eksistensinya di dunia adalah bagaimana memfungsikan dirinya sedemikian rupa
agar dapat meraih nilai-nilai moral menjadi miliknya yang sejati, sehingga ia
pantas disebut sebagai manusia.
Penerimaan sebuah nilai, erat kaitannya
dengan upaya-upaya rasional manusia dalam mencari pembuktian-pembuktian yang
meyakinkan dirinya akan kebenarannya, sehingga ia menemukan pegangan hidup yang
akan menuntun dirinya menjalani kehidupan di dunia. Sehingga dengan cara
demikian ia pun dapat hidup dengan cara yang baik dan pantas setiap saat.
Oleh karena itu, pertanyaan spesifik yang
diajukan adalah; seperti apa “yang baik” atau “yang tidak baik”, dan “yang
pantas” serta “yang tidak pantas” itu?. Pertanyaan-pertanyaan ini berkenaan
dengan alasan-alasan dan motif-motif seseorang dalam melakukan tindakan moral.
Ketika seseorang melihat tindakan moral dalam konteks produk dari sebuah
perilaku, maka dalam hal ini ia melihat pembenaran moral dalam konsekuensi
sebuah tindakan. Mereka dalam hal ini melihat bahwa tidak ada suatu yang
bernilai “baik” akan melahirkan kejahatan, dan sebaliknya bahwa tidak akan ada
suatu yang bernilai “jahat” akan melahirkan kebaikan.
Sebaliknya, bagi mereka yang
berkeyakinan bahwa perilaku moral dapat dilihat dari nilai-nilai yang ada pada
proses, dengan mengatakan jika suatu tindakan dilalui dengan penuh pertimbangan
dan prosedural, maka akan melahirkan produk moral. Sebaliknya, apabila sebuah
tindakan tidak melalui proses dan prosedur moral, maka akan terjadi
penyimpangan-penyimpangan dalam berperilaku, sehingga dengan demikian moralitas
selalu tampil dalam berbagai sendi, baik dalam proses maupun dalam produk.
Standar moral manusia banyak ditentukan
oleh tingkat perkembangan sosialnya, intelegensinya dan ilmu pengetahuan yang
berkembang. Moralitas tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia sebagai
pembuka bagi kehidupan yang lebih maju ke arah kehidupan yang membahagiakan dan
penuh makna. Oleh karena itu, problem moral bukan sekedar msalah moral itu
sendiri, tetapi juga menyangkut persoalan sosial, ekonomi dan juga politik.
Para pemikir moral banyak memberikan
jawaban atas pertanyaan di atas, seperti yang tergabung dalam aliran
deontologis, objektif dan non-naturalistik dan yang termasuk dalam aliran
teleologis, subjektif dan naturalistik yang semuanya memiliki epistemologi yang
berbeda dalam memberikan jawaban atas pembenaran nilai-nilai moral.
Paham deontologi umpamanya, memberikan
keyakinan bahwa nilai moral selalu didasarkan pada apa yang ada dalam perbuatan
itu sendiri, bukan sesuatu yang lain yang berada di luarnya. Orang tidak mau
berbohong umpamanya bukan karena sesuatu yang lain di luar perbuatan bohong
itu, tetapi karena memang perbuatan
bohong itu sendiri yang tidak baik. Pembenaran nilai moral ini didasari oleh
pemahaman bahwa perilaku moral mestilah didasarkan pada dorongan yang kuat dari
dalam diri seseorang untuk melakukannya dan atau meninggalkannya.
Perilaku baik di sini selalu mengacu
pada perolehan kebahagiaan bagi pelakunya. Karena kebahagiaan yang dimaksudkan
dalam teori etika Islam pada umumnya tidak lain adalah moral sa’adah
(kebahagiaan yang berdimensi moral) yang lepas dari aspek material, kepentingan
dan kecenderungan diri maka perilaku moral itu pun mengarah pada satu tujuan
yang sama bagi semua orang.
Dengan
demikian, meskipun manusia berbeda-beda dalam perilaku moral, namun secara esensial
tidak akan pernah terjadi pluralisme dalam moral, sebab semuanya bermuara pada
satu tujuan, yakni kebahagiaan tertinggi. Jadi, nilai moral memiliki hubungan
signifikan dengan hukum natural rasional manusia yang memang mengsyaratkan
adanya kesadaran dan kebebasan yang memungkinkan adanya kemandirian jiwa, tentu
berimplikasi pada perbedaan-perbedaan. Namun para ahli dalam hal ini tidak
sepakat bahwa kondisi ini akan berkonsekuensi akan adanya pluralitas dalam
esensi moral.
Referensi :
Bernard
Williams, Ethics And The Limits Of
Philosopphy, (Cambridge: Harvard University Press, 1985)
Amril M., Etika Islam; Telaah Pemikiran
Filsafat Raghib al-Isfahani,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar