Minggu, 30 Oktober 2016

Moralitas sebagai Dasar Pijakan Manusia

Moralitas sebagai Dasar Pijakan Manusia
Hal mendasar yang tidak dapat dilepaskan begitu saja dalam membicarakan pembenaran moral, adalah persoalan yang berkenaan dengan pertanyaan bagaimana seseorang dapat hidup dengan cara yang baik setiap saat. Mengingat bahwa manusia itu terlahir dalam keadaan “baik”, sehingga menjadi tugasnya untuk selalu mempertahankan kebaikan tersebut terutama dalam hubungan sosialnya. Maka tanggung jawab hakiki dari eksistensinya di dunia adalah bagaimana memfungsikan dirinya sedemikian rupa agar dapat meraih nilai-nilai moral menjadi miliknya yang sejati, sehingga ia pantas disebut sebagai manusia.
Penerimaan sebuah nilai, erat kaitannya dengan upaya-upaya rasional manusia dalam mencari pembuktian-pembuktian yang meyakinkan dirinya akan kebenarannya, sehingga ia menemukan pegangan hidup yang akan menuntun dirinya menjalani kehidupan di dunia. Sehingga dengan cara demikian ia pun dapat hidup dengan cara yang baik dan pantas setiap saat.
Oleh karena itu, pertanyaan spesifik yang diajukan adalah; seperti apa “yang baik” atau “yang tidak baik”, dan “yang pantas” serta “yang tidak pantas” itu?. Pertanyaan-pertanyaan ini berkenaan dengan alasan-alasan dan motif-motif seseorang dalam melakukan tindakan moral. Ketika seseorang melihat tindakan moral dalam konteks produk dari sebuah perilaku, maka dalam hal ini ia melihat pembenaran moral dalam konsekuensi sebuah tindakan. Mereka dalam hal ini melihat bahwa tidak ada suatu yang bernilai “baik” akan melahirkan kejahatan, dan sebaliknya bahwa tidak akan ada suatu yang bernilai “jahat” akan melahirkan kebaikan.
Sebaliknya, bagi mereka yang berkeyakinan bahwa perilaku moral dapat dilihat dari nilai-nilai yang ada pada proses, dengan mengatakan jika suatu tindakan dilalui dengan penuh pertimbangan dan prosedural, maka akan melahirkan produk moral. Sebaliknya, apabila sebuah tindakan tidak melalui proses dan prosedur moral, maka akan terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam berperilaku, sehingga dengan demikian moralitas selalu tampil dalam berbagai sendi, baik dalam proses maupun dalam produk.
Standar moral manusia banyak ditentukan oleh tingkat perkembangan sosialnya, intelegensinya dan ilmu pengetahuan yang berkembang. Moralitas tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia sebagai pembuka bagi kehidupan yang lebih maju ke arah kehidupan yang membahagiakan dan penuh makna. Oleh karena itu, problem moral bukan sekedar msalah moral itu sendiri, tetapi juga menyangkut persoalan sosial, ekonomi dan juga politik.
Para pemikir moral banyak memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, seperti yang tergabung dalam aliran deontologis, objektif dan non-naturalistik dan yang termasuk dalam aliran teleologis, subjektif dan naturalistik yang semuanya memiliki epistemologi yang berbeda dalam memberikan jawaban atas pembenaran nilai-nilai moral.
Paham deontologi umpamanya, memberikan keyakinan bahwa nilai moral selalu didasarkan pada apa yang ada dalam perbuatan itu sendiri, bukan sesuatu yang lain yang berada di luarnya. Orang tidak mau berbohong umpamanya bukan karena sesuatu yang lain di luar perbuatan bohong itu,  tetapi karena memang perbuatan bohong itu sendiri yang tidak baik. Pembenaran nilai moral ini didasari oleh pemahaman bahwa perilaku moral mestilah didasarkan pada dorongan yang kuat dari dalam diri seseorang untuk melakukannya dan atau meninggalkannya.
Perilaku baik di sini selalu mengacu pada perolehan kebahagiaan bagi pelakunya. Karena kebahagiaan yang dimaksudkan dalam teori etika Islam pada umumnya tidak lain adalah moral sa’adah (kebahagiaan yang berdimensi moral) yang lepas dari aspek material, kepentingan dan kecenderungan diri maka perilaku moral itu pun mengarah pada satu tujuan yang sama bagi semua orang.
 Dengan demikian, meskipun manusia berbeda-beda dalam perilaku moral, namun secara esensial tidak akan pernah terjadi pluralisme dalam moral, sebab semuanya bermuara pada satu tujuan, yakni kebahagiaan tertinggi. Jadi, nilai moral memiliki hubungan signifikan dengan hukum natural rasional manusia yang memang mengsyaratkan adanya kesadaran dan kebebasan yang memungkinkan adanya kemandirian jiwa, tentu berimplikasi pada perbedaan-perbedaan. Namun para ahli dalam hal ini tidak sepakat bahwa kondisi ini akan berkonsekuensi akan adanya pluralitas dalam esensi moral.

Referensi :
 Bernard Williams, Ethics And The Limits Of Philosopphy, (Cambridge: Harvard University Press, 1985)
Amril M., Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Raghib al-Isfahani,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar