MENGENAL
DIRI MANUSIA
Diri Manusia
Alqur’an telah
banyak menyibak tentang apa dan siapa manusia sebenarnya. Namun ungkapan ini
tidak akan menjadi suatu kesadaran apabila perasaan jiwa tidak pernah dibawa ke
alamnya secara nyata. Atau dengan kata lain kita tidak mau menilik yang mana
diri kita sesungguhnya. Bukan dengan teori-teori tasawuf atau psikologi yang
sulit dimengerti yang kita butuhkan. Melainkan dimulai dengan yang sangat
sederhana.
seorang bayi
yang lahir dengan proses alami. Ia lahir bukan karena permintaan atau
kehendaknya. Ia tidak mengerti untuk apa dilahirkan. Ia tidak punya apa-apa
bahkan telanjang dan malupun tidak punya. Lantas sekelilingnya memberikan
kesadaran secara bertahap. Mulai dari pemberian nama, identitas kelamin dan
batasan kesadaran yang sangat sempit. Ia dikenalkan dengan dirinya bahwa
namanya si Anu dan jenis kelaminnya laki-laki. Diajarkannya pula nama-nama
anggota tubuhnya, ini kepala ada mata, telinga, hidung, mulut, ini tangan dan
seterusnya. Kesadaran ini membuat terikat kepada sebatas apa yang ia terima dan
ketahui. Sehingga sang diri terbelenggu dan tersesat dalam ketidaktahuan siapa
yang sebenarnya diri ini. Ada sebuah ungkapan “barang siapa mencintai sesuatu
maka ia akan menjadi hambanya”.
Mengenal Diri
|
Dalam bertauhid pembahasan tentang hati merupakan agenda utama. Tujuannya agar bisa menghubungkan diri kepada Allah. Untuk itu perlu penyelarasan dari ilmu tauhid dan syariat yang sebelumnya (oleh kebanyakan orang) telah dipelajari. Dalam sebuah kata-kata hikmah (bagi sebagian ulama ini dikatakan sebagai hadits dari Rasulullah SAW), bahwa :
"Man
'Arofa Nafsahu faqod 'Arofa Rabbahu", artinya : "Barangsiapa mengenal
dirinya (nafsahu) maka ia akan mengenal Tuhannya".
Begitu
pentingnya mengenal diri karena pengenalan terhadap diri merupakan syarat
mutlak untuk dapat mengenal Allah yang merupakan awalnya beragama.
Salah satu Sahabat yang kualitas batinnya terdidik langsung Rasulullah SAW, Imam Ali r.a. Tajjul Arifin (Mahkota Ilmu) mengatakan bahwa : "Awwaluddin Ma'rifatullah", artinya : “Awal dari agama adalah mengenal Allah".
Salah satu Sahabat yang kualitas batinnya terdidik langsung Rasulullah SAW, Imam Ali r.a. Tajjul Arifin (Mahkota Ilmu) mengatakan bahwa : "Awwaluddin Ma'rifatullah", artinya : “Awal dari agama adalah mengenal Allah".
Bukan
mengenal langit, bumi, bintang, jagat raya, alam semesta seisinya. Bukan
mengenal ciptaan Allah tetapi mengenal Yang menciptakan. Bukan mengenal
tanda-tanda kebesaran Allah, tetapi Yang punya tanda. Untuk dapat mengenal
Allah kita harus mengenal diri (An-Nafs) terlebih dahulu. Dari sini akan dapat
diketahui esensi diri yang sebenarnya dan merupakan awal dari seseorang
beragama dengan haq. Pengenalan kepada diri merupakan kunci untuk mengenal
Tuhan, bahkan tujuan pengetahuan itu sendiri adalah untuk mengenal diri. Diri manusia dapat dilihat secara inderawi
dengan perilaku dan perangainya.
Dari seseorang
berperilaku, seseorang berperangai, merupakan cerminan dari hatinya. Sehingga
untuk mengenal diri kita, kita harus memulainya dengan mengenal hati (qalb). Kebanyakan
manusia sering tidak menyadari realitas dirinya sendiri. Ia memandang tubuh
fisiknya sebagai esensi dari dirinya sendiri dan lupa pada sifat abstrak dari
hati spiritual.
Manusia terlalu
disibukkan dengan memberi makanan pada tubuh fisiknya untuk memenuhi
hasrat-hasrat inderawinya, padahal sesungguhnya di tempat inilah ia harus
menyiapkan bekal untuk hari akhir kelak. Yang dimaksud hati dalam hubungannya
hubungannya dengan Sang Pencipta adalah hati ruhaniah.
Hati jenis
inilah yang merasa, mengetahui serta mengenal. Disebut pula hati latifah (yang
halus) atau hati Robbaniyyah karena ia berhubungan dengan sifat-sifat
ketuhanan.
Hati inilah
yang merupakan tempat untuk mengenal Allah (ma’rifatullah) agar dapat beriman
kepada Allah. Ma’rifat yang merupakan ilmu pengenalan terhadap Allah, tidak
mungkin dapat dilakukan jika kita tidak mengenal hati dan tidak mengetahui
dimana letak hati (qalb). Dalam literatur barat sendiri penggunaan
istilah-istilah seperti heart, soul, spirit, mind, dan intellect sering campur
aduk ketika berbicara mengenai persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
konsep jiwa.
"... Allah
menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam
hatimu ..." (QS. 49:7)
"...karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, ...". (QS. 49:14)
"...Mereka itulah orang-orang dimana Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka ..." (QS. 58:22)
"...karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, ...". (QS. 49:14)
"...Mereka itulah orang-orang dimana Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka ..." (QS. 58:22)
Bahkan lebih
dari itu, dalam hadits Qudsi dikatakan: "...Tidak akan cukup untuk-Ku bumi
dan langit, tetapi yang cukup menampung-KU hanyalah hati (qalb) hamba-Ku yang
mukmin".
Maka dengan
hatilah, seseorang dapat merasakan iman, dengan hatilah seorang hamba dapat
mengenal Rabb-nya.
Hati yang halus
itulah hakikat manusia yang dapat menangkap segala rasa, dan ia mengetahui
serta mengenal segala sesuatu. Hati inilah yang jadi sasaran pembicaraan, yang
akan disiksa, dicerca dan dituntut. Karena eratnya hubungan antara hati jasmani
dan hati rohani itu, sehingga kebanyakan akal manusia menjadi bingung untuk
membedakannya. Hubungan kedua hati itu seperti halnya sifat dengan jisim yang
disifati, atau seperti benda yang dijadikan perkakas dengan sifat perkakasnya.
Seseorang tidak
mudah untuk mengatakan bahwa dia telah beriman sebelum mengetahui ilmu tentang
hati. Sebagaimana pengakuan orang Arab yang mengatakan bahwa dirinya telah
beriman tetapi langsung dibantah oleh Allah SWT.
“Orang-orang
Arab Baduwi itu berkata : “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka) :
“kamu belum beriman, tetapi katakanlah “kami telah tunduk”, karena iman itu
belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasulnya, Dia
tidak akan mengurangi sedikitpun amalanmu..” (QS. Al-Ahzab : 14).
Hatilah yang
diterima disisi Allah, apabila ia selamat atau terhindar dari hal-hal selain
Allah dan sebaliknya, ia pula yang terhijab atau terdinding dari Allah, apabila
ia tenggelam dalam-hal-hal selain Allah. Hatilah yang akan dituntut, dijadikan
sasaran pembicaraan dan cercaan dan ia pula yang berbahagia dengan mendekat
kepada Allah. Akan menanglah orang yang mensucikan hatinya dan sebaliknya ia
akan kecewa dan celaka jika ia mengotori serta merusak hatinya.
”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar