Bagaimana jati diri manusia itu?
Kewajiban
setiap manusia adalah mengenal Allah dan mengenal siapa dirinya. Setiap mausia
didorong untuk melakukan intropeksi akan dirinya dengan menjawab pertanyaan :
1.
Siapakah Aku ?
2.
Darimana Aku?
3.
Dan Mau ke mana seluruh hidup ini didedikasihkan?
Untuk
menjawab pertanyaan yang pertama, sebagian manusia akan menjawab dan menyebut
namanya. Misalnya, Aku adalah Nita!, dan adapun beberapa dari orang yang
menjawab “Aku adalah Manusia!” Jawaban ini dapat menjadi alat untuk menggali
pengetahuan dari seseorang lebih mendalam dengan mengajukan pertanyaan: Apa itu
Manusia? Apa yang membedakan Manusia dengan Makhluk lainnya?
Kebanyakan
dapat menjawab, Manusia bkanlah tanaman yang tumbuh berkembang tanpa gerak
dinamis. Manusia juga bukan Hewan yang bergerak tanpa nalar. Dari berbagai
sudut pandang yang digunakan kita dapat disimpulkan bahwa manusia adalah roh
yang berjalin dengan jasad. Dan ia merupakan entitas berfikir. Tanpa roh,
manusia mati!. Mati dipahami secara umum sebagai keluarnya roh dari jasad.
Sebaliknya kehidupan terjadi ketika roh “ditiupkan “ Allah ke dalam jasad
manusia berada pada fase janin dalam kandungan. Selanjutnya manusia tumbuh
berkembang menjadi manusia dewasa dipengaruhi oleh proses biologis (jasad),
proses kognitif (akal pikiran) dan proses sosial emosional.
Ayat
yang menjelaskan tentang asal usul manusia yaitu surah As-Sajadah ayat 7-9.
“Allah memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.
Dapat diuraikan manusia terdiri dari unsur
jiwa, hati, pikiran, pancaindera, dan tubuh. Kemudian ditutup dengan kalimat
yang menyentak hati dan pikiran kita: “ kamu sedikit sekali bersyukur”. Manusia
diajak melakukan refleksi.
Dalam
tataran praktis, sikap syukur tercermin dalam perilaku manusia untuk memenuhi
kebutuhan dirinya secara adil. Memenuhi kenutuhan jiwa, hati, pikiran, dan
tubuhnya secara seimbang, tanpa mengurangi atau melebihkan. Dan menjauhkan diri
dari hal-hal yang berpotensi merusak dan menghancurkan jiwa, hati, pikiran, dan
tubuh itu. Kebanyakan manusia tidak bersyukur, sehingga menjadi sakit, ragu,
cemas, dan merugi.
Selanjutnya,
Apa kebutuhan kita? Dan apakah kita sudah menyediakannya secara cukup dan
seimbang?
Tubuh
kita membutuhkan oksigen, nutrisi berupa makanan yang halal dan thoyyib,
olahraga, dan istirahat. Sedangkan jiwa kita, ruhani kita, membutuhkan arah,
tujuan, dan makna dalam hidup. Kebutuhan roh dan tubuh atau jiwa dan raga itu
harus dipenuhi setiap hari secara adil. Apa yang terjadi, jika tubuh kita tidak
memperoleh asupan gizi? Sakit! Demikian juga dengan roh kita, apabila roh kita
tidak memperoleh nutrisi zikrullah, hati kita akan menjadi cemas, gelisah, dan
kehilangan arah. Bukankah Allah sudah menegaskan dalam Q.S Ar-Ro’d ayat 28 “
Ingatlah, hanya dengan berzikir kepada Allah hati menjadi tenang!”
Manusia
bukan hanya tubuh dan jiwa. Manusia memiliki akal dan pikiran yang harus diasah
melalui pendidikan yang memperdayakan. Kecerdasan akal dikembangkan melalui
kegiatan belajar dan mengajar. Oleh karena itu, islam memerintahkan setiap
individu untuk membaca, membaca, dan menulis. Membaca Al-Quran, membaca diri
dan realitas sosial, serta membaca tanda-tanda yang ada di alam yang terus
mengalami perubahan. Akal manusia juga mengalami perkembangan melalui dialog
dan tanya jawab. Jika tidak mengerti suatu persoalan, maka diperintahkan untuk
bertanya kepada yang mengerti.
Secara
filosofis yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah kemampuan
berpikir dan mengembangkan ilmu. Inilah yang menjadi alasan diangkatnya nabi
Adam sebagai khalifatullah di muka bumi. Allah mengajarkan kepada nabi Adam
semua simbol atau nama dari alam raya (QS. Al-Baqarah 2:31). Allah mengajarkan
kepada manusia Al-Quran dan bahasa (QS. Ar-Rahman ayat 1-4). Allah mengajarkan
ilmu pengetahuan sehingga akal manusia menjadi aktif dan cerdas. Akal cerdas
ditandai dengan kemampuan memecahkan masalah secara tepat dengan analisis yang
akurat.
Allah
mengajarkan ilmu melalui alam yang terbentang luas. Manusia belajar dengan
mengamati seluruh ciptaan Allah. Kemudian, manusia melakukan serangkaian
percobaan dan menjadi peniru kreatif. Temuan ini dibahas melalui dialog dan
diskusi yang produktif dengan berbagai pihak, sehingga terjadi pertukaran
informasi, ide dan gagasan. Belajar adalah peniruan terhadap Karya Tuhan yang
diajarkan oleh guru atau orang yang ahli. Sehingga peradaban manusia diterangi
oleh cahaya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Apakah
orang yang cerdas intelektual dijamin sukses?
Tidak!
Jawabannya karena karakter orang yang sukses adalah tekun, orang yang tahu
diri, pandai mengendalikan diri, dan sanggup menjaga motivasi dan komitmen
sehingga pantang menyarah. Di sisi lain, Allah juga mengajarkan bahwa
kemakmuran adalah milik orang-orang yang bersyukur, orang yang memiliki empati
kepada orang lain, dan selalu membangun persahabatan. Inilah inti dari
kecerdasan emosi dan kecerdasan adversitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar