Sabtu, 26 November 2016

Dilema Eksistensi Manusia

Dilema Eksistensi Manusia
Kapasitas manusia untuk melakukan idealisasi dan menggapai wawasan yang transendental itu ternyata tidak niscaya membebaskannya dari segala struktur fisik yang membelenggunya. Adalah struktur bio-fisiknya yang terutama menetapkan batas-batas yang tidak bisa diterobosnya. Jalinan-jalinan psiko-sosial memang membuat manusia dapat berkelana dalam spektrum-spektrum mental dan relasi sosial yang bersifat korelatif pada tingakat yang sudah terabstraksi dan bahkan juga bisa maya. Kendati begitu, dia tetap saja tidak bisa beranjak dari  pola eksistensinya yang spatial-temporal. Artinya kemampuan Geist dari manusia yang infinitif tidak akan kunjung membawanya pada jawaban yang definitif bagi dilema eksistensialnya. Dengan teknologi tidak dapat berada di dua tempat pada saat yang sama seperti yang kerap digambarkan dalam cerita-cerita fiksi. Bahkan tidak juga dalam film serial. Manusia abad ke-21 masih jauh dari mengekploitasi akal dan nalarnya secara habis-habisan. Tetapi andaikata juga dia mengekploitasi akal, nalar dan segenap kapasitas manusiawinya, kelihatannya dia juga tidak akan sampai menggapai ujung kebudayaan yang bisa diterobosnya.

Kapasitas transendental manusia membuatnya menjadi makhluk yang potensial penuh harap, ambisi, obsesi, dan fantasi, tetapi pada saat yang sama dia dibelenggu oleh kesadaran akan keterbatasannya yang sekaligus membuatnya mengidap frustasi laten. Menurut Freud, ketidakmanusiaan manusia yang bersumber pada frustasi itu bersumber pada tiga sebab: sifat degeneratif badannya(yang tidak terbendungkan), kekuatan yang dahsyat dari alam, dan hubungan antar manusia yang rawan konflik. Freud malah mengidentifikasi sepotong konstitusi psikis dalam diri manusia yang tidak tertaklukan sebagai biang keladi dalam hubungan antarmanusia yang sarat denagn derita. Walau begitu, manusia tidak pernah disuruh berhenti dan memang juga kelihatannya tidak bisa berhenti dalam upaya merealisasi dirinya (hal ini dibuktikan secara implisit dalam sejarah kebudayaan), tetapi dia juga terus sadar bahwa suka atau tidak suka pada suatu ketika dia pasti berhenti atau terhenti atau diberhentikan sebagai manusia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar