Etika Pembebasan (Mati Raga Dan Bela Rasa)
Desakan
kehendak untuk hidup sangat kuat, sehingga ia akan menerjang apa sajauntuk
mendapat apa yang diinginkan. Hal ini berarti bahwa kehendak bukan saja membawa
kesengsaraan bagi diri sendiri (karena tidak bisa dipenuhi), melainkan juga
dari pihak lain. Di alam bebas, kehendak yang demikian ini menampakkan diri
dalam berbagai bentuk makhluk hidupp yang hanya akan berkembang dengan
menyantap makhluk lainnya. Schopenhauer mengatakan, barang siapa ingin tahu
dengan segera apakah di dunia ini jumlah kenikmatan lebih banyak daripada
penderitaan, atau apakah keduanya setidaknya berimbang, maka ia perlu
membandingkan perasaan binatang yang memakan hewan lain dengan perasaan hewan
yang tengah dimakannya. Meskipun ada ribuan orang hidup bahagia dan sejahtera,
rasa takut dan rasa tersiksa orang lain tetap saja tidak bisa hilang.
Begitu
pula dengan egoisme manusia yaitu dalam “ dorongan untuk memperhatikan diri dan
memperoleh kesejahteraan”, kehendak ini tetap bekerja untuk mendapatkan
pemenuhan yang tak terhingga. Setiap keinginan yang sudah dipuaskan
menghasilkan keinginan baru yang juga harus dipuaskan lagi, dan begitu
seterusnya tanpa pernah berhenti. Namun, kemungkinan-kemungkinan untuk
memuaskan terbatas, sehingga tidak ada yang benar-benar memuaskan. Apabila kita
sampai, kita merasa bosan, lalu menghendaki yang lain. Apabila tidak sampai.
Kita kecewa. Hidup manusia terbentang antara rasa bosan dan Frustasi, tanpa
pemenuhan. Ini berarti, hidupa adalah penderitaan. Kita tidak akan bahagia di
dunia ini sebab kita terus-menerus dikuasai oleh berbagai keinginan dan nafsu
sebagai penjabaran dari kehendak egoistik kita sebagai “ penggerak pertama dan
utama” bagi perilaku kita.
Orang
bijaksana adalah orang yang mampu “menembus prinsip individualis”. Mereka
mengetahui (aspek pengetahuan atau kesadaran) bahwa apa yang secara fenomenal
tampak sebagai kemajemukan individu sebenarnya hanyalah bayangan belaka ;
secara neomenal tidak ada kemajemukan sama sekali, yang ada hanya kesatuan.
Dengan demikian, mereka tidak ada kemutlakkan eksistensi individual, termasuk
diri mereka sendiri dengan berbagai nafsu dan keinginan. Mereka bebas dari
segala pamrih dan keinginan yang semu dan sementara, sehingga di kemudian hari
mereka tidak akan menuai penderitaan, karena memang tidak pernah menaburnya.
Apa
yang membahagiakan mereka juga akan membahagiakan kita, apa yang membuat mereka
menderita juga akan membuat kita menderita. Kita mengindentifikasi diri kita
dengan mereka. Akibatnya di satu pihak penderitaan dan rasa frustasi manusia
akan berkurang karena merasa mendapat teman senasib yang menanggung segalanya
bersama-sama. Sikap bela rasa mempersatukan dan menguatkan kita dalam mengatasi
penderitaan dan dilain pihak, dengan
adanya bela rasa, kita keluar dari diri kita sehingga, terbebas dari keinginan
untuk mempertahankan hidup dan eksistensi kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar