Kebudayaan Dan Sejarah
Sejarah
yang diketahui manusia itu terjadi hanya karena kebudayaan yang dia bangun, dan
kebudayaan yang dia bangun itu hanya menjadi relevan karena berlangsung dalam
sejarah. Kaitan itulah yang mengakibatkan bahwa baik sejarah maupun kebudayaan
tidak bisa dipahami sekedar sebagai momen, melainkan lebih sebagai proses.
Habermas memandang sejarah yang dialektis itu begini: “ Sang sekarang yang dari
sudut pandang cakrawala zaman baru memahami dirinya sebagai aktualitas dari
zaman yang paling baru, harus menuntaskan pemutusan hubungan yang dibuatnya
dengan masa lampau, sebagai pembaharuan yang berkelanjutan.” Dengan begitu
Habermas sebenarnya seperti menyangkal kesinambungan kebudayaan, karena sang
sekarang bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan lekat dengan sejarah
yang berproses sebagai dialektik (yang nota
bene nya tidak berujung. Persoalannya adalah sejarah itu tidak hanya
melibatkan dimensi yang temporal, melainkan juga dengan spatial. Apa yang untuk
suatu kelompok masyarakat yang satu adalah ‘sang sekarang’ pada saat yang sama
untuk suatu masyarakat yang lain sudah merupakan ‘sang dahulu’ selagi untuk
suatu kelompok masyarakat yang lain lagi merupakan malhan masih merupakan ‘sang
masa depan’ yang belum tentu akan mereka alami. Selagi beberapa bangsa sudah
menjejak zaman antariksa, banyak bangsa lain yang masih berada dalam taraf
industrial atau malaan agraris, sambil pada zaman yang sama masih ada juga
sejumlah suku-bangsa yang seperti terbenam dalam zaman pra-agraris yang bisa
saja tidak akan sampai mengalami modernitas. Artinya, untuk satu konteks
spatial yang global dan karena itu sama dan dalam satu kurun temporal yang juga
sama kebudayaan itu bisa memiliki muatan dan makna yang berbede-beda untuk
berbagai masyarakat. Artinya, sejarah itu sebetulnya selalu merupakan anakron
juga.
Dalam
pandangan Habermas, sejarah seolah-olah menghadapi dirinya sendiri. Untuk dia,
nampaknya urusan bahwa manusia adalah subjek sejarah merupakan perkara yang
sudah dengan sendirinya. Padahal dalam dunia yang diketahui manusia itu sejarah
hanyalah relevan untuk dirinya sendiri. Untuk makhluk supra-human yang
(mungkin) menentukan manusia itu, sejarah adalah miliknya, sedangkan makhluk
sub-human tidak punya urusan dengan sejarah, sebab dia adalah objek dari
sejarah. Karena itu boleh jadi bahwa sejarah dan manusia itu saling memiliki.
Sejarah menjadi relevan bagi manusia karena manusia sendiri yang sanggup
mengalami, menyadari dan memahami empiris ruang dan waktu. Kecuali jika kita
bisa membuktikan lain. Dia bisa menarik konsekuensi dari dan mengambil sikap
terhadap empiri itu. Karena itu hanyalah manusia yang membuat historisitas itu
menjadi prerogatifnya, sehingga hanya manusia juga yang sanggup menjadi makhluk
historis, dan karena manusialah sejarah alam semesta yang tidak bersubjek
menjadi sejarah kebudayaan yang bersubjek. Manusia yang menentukan bagaimana
paradigma sejarah itu bergeser dan berubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar