Sabtu, 26 November 2016

Kebudayaan Dan Sejarah

Kebudayaan Dan Sejarah
Sejarah yang diketahui manusia itu terjadi hanya karena kebudayaan yang dia bangun, dan kebudayaan yang dia bangun itu hanya menjadi relevan karena berlangsung dalam sejarah. Kaitan itulah yang mengakibatkan bahwa baik sejarah maupun kebudayaan tidak bisa dipahami sekedar sebagai momen, melainkan lebih sebagai proses. Habermas memandang sejarah yang dialektis itu begini: “ Sang sekarang yang dari sudut pandang cakrawala zaman baru memahami dirinya sebagai aktualitas dari zaman yang paling baru, harus menuntaskan pemutusan hubungan yang dibuatnya dengan masa lampau, sebagai pembaharuan yang berkelanjutan.” Dengan begitu Habermas sebenarnya seperti menyangkal kesinambungan kebudayaan, karena sang sekarang bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan lekat dengan sejarah yang berproses sebagai dialektik (yang nota bene nya tidak berujung. Persoalannya adalah sejarah itu tidak hanya melibatkan dimensi yang temporal, melainkan juga dengan spatial. Apa yang untuk suatu kelompok masyarakat yang satu adalah ‘sang sekarang’ pada saat yang sama untuk suatu masyarakat yang lain sudah merupakan ‘sang dahulu’ selagi untuk suatu kelompok masyarakat yang lain lagi merupakan malhan masih merupakan ‘sang masa depan’ yang belum tentu akan mereka alami. Selagi beberapa bangsa sudah menjejak zaman antariksa, banyak bangsa lain yang masih berada dalam taraf industrial atau malaan agraris, sambil pada zaman yang sama masih ada juga sejumlah suku-bangsa yang seperti terbenam dalam zaman pra-agraris yang bisa saja tidak akan sampai mengalami modernitas. Artinya, untuk satu konteks spatial yang global dan karena itu sama dan dalam satu kurun temporal yang juga sama kebudayaan itu bisa memiliki muatan dan makna yang berbede-beda untuk berbagai masyarakat. Artinya, sejarah itu sebetulnya selalu merupakan anakron juga.

Dalam pandangan Habermas, sejarah seolah-olah menghadapi dirinya sendiri. Untuk dia, nampaknya urusan bahwa manusia adalah subjek sejarah merupakan perkara yang sudah dengan sendirinya. Padahal dalam dunia yang diketahui manusia itu sejarah hanyalah relevan untuk dirinya sendiri. Untuk makhluk supra-human yang (mungkin) menentukan manusia itu, sejarah adalah miliknya, sedangkan makhluk sub-human tidak punya urusan dengan sejarah, sebab dia adalah objek dari sejarah. Karena itu boleh jadi bahwa sejarah dan manusia itu saling memiliki. Sejarah menjadi relevan bagi manusia karena manusia sendiri yang sanggup mengalami, menyadari dan memahami empiris ruang dan waktu. Kecuali jika kita bisa membuktikan lain. Dia bisa menarik konsekuensi dari dan mengambil sikap terhadap empiri itu. Karena itu hanyalah manusia yang membuat historisitas itu menjadi prerogatifnya, sehingga hanya manusia juga yang sanggup menjadi makhluk historis, dan karena manusialah sejarah alam semesta yang tidak bersubjek menjadi sejarah kebudayaan yang bersubjek. Manusia yang menentukan bagaimana paradigma sejarah itu bergeser dan berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar