Hasil
Penelitian The Third International Mathematic and Science Study Repeat
(TIMSS-R) pada tahun 1999 menyebutkan bahwa di antara 38 negara, prestasi siswa
SMP Indonesia berada pada urutan 34 untuk matematika. Sementara hasil nilai
matematika pada ujian Nasional, pada semua tingkat dan jenjang pendidikan selalu
terpaku pada angka yang rendah. Keadaan ini sangat ironis dengan kedudukan dan
peran matematika untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan, mengingat matematika
merupakan induk ilmu pengetahuan dan ternyata matematika hingga saat ini belum
menjadi pelajaran yang difavoritkan.
Rasa takut
terhadap pelajaran matematika (fobia matematika) sering kali menghinggapi
perasaan para siswa dari tingkat SD sampai dengan SMA bahkan hingga perguruan
tinggi. Padahal, matematika itu bukan pelajaran yang sulit, dengan kata lain
sebagaimana dituturkan oleh ahli matematika ITB Iwan Pranoto, setiap orang bisa
bermatematika. Menurut Iwan, masalah fobia matematika kerap dianggap sangat
krusial dibandingkan bidang studi lainnya karena sejak SD bahkan TK, siswa
sudah diajarkan matematika. “Kalau fisika, baru diajarkan di tingkat SMP.
Karena itu, fobia fisika menjadi tidak begitu krusial dibandingkan
matematika,”. Apalagi Kimia yang baru diajarkan ketika tingkat SMA.
Fobia
Matematika
Pernah dalam
suatu diskusi ada pertanyaan “unik”. Apa kepanjangan dari Matematika? Dalam
benak saya, apa ada kepanjangan Matematika, selama ini yang diketahui
kebanyakan orang, Matematika adalah tidak lebih dari sekedar ilmu dasar sains
dan teknologi yang tentunya bukan merupakan singkatan. Setelah berfikir agak
lama hampir mengalami kebuntuan dalam berfikir akhirnya Nara Sumber
menjelaskan, bahwa Matematika memiliki kepanjangan dalam 2 versi. Pertama,
Matematika merupakan kepanjangan dari MAkin TEkun MAkin TIdak KAbur, dan kedua
adalah MAkin TEkun MAkin TIdak KAruan. Dua kepanjangan tersebut tentunya sangat
berlawanan.
Untuk
kepanjangan pertama mungkin banyak kalangan yang mau menerima dan menyatakan
setuju. Karena siapa saja yang dalam kesehariannya rajin dan tekun dalam
belajar matematika baik itu mengerjakan soal-soal latihan, memahami konsep
hingga aplikasinya maka dipastikan mereka akan mampu memahami materi secara
tuntas. Karena hal tersebut maka semuanya akan menjadi jelas dan tidak kabur.
Berbeda dengan kepanjangan versi kedua, tidak dapat dibayangkan jika kita
semakin tekun dan ulet belajar matematika malah menjadi tidak karuan alias
amburadul. Mungkin kondisi ini lebih cocok jika diterapkan kepada siswa yang
kurang berminat dalam belajar matematika (bagi siswa yang memiliki keunggulan
di bidang lain) sehingga dipaksa dengan model apapun kiranya agak sulit untuk
dapat memahami materi matematika secara tuntas dan lebih baik mempelajari
bidang ilmu lain yang dianggap lebih cocok untuk dirinya dan lebih mudah dalam
pemahamannya.
Terkait dengan
rasa apriori berlebihan terhadap matematika ditemukan beberapa penyebab fobia
matematika di antaranya adalah yang mencakup penekanan belebihan pada
penghafalan semata, penekanan pada kecepatan atau berhitung, pengajaran
otoriter, kurangnya variasi dalam proses belajar-mengajar matematika, dan
penekanan berlebihan pada prestasi individu. Oleh sebab itu, untuk mengatasi
hal ini, peran guru sangat penting. Karena begitu pentingnya peran guru dalam
mengatasi fobia matematika, maka pengajaran matematika pun harus dirubah. Jika
sebelumnya, pengajaran matematika terfokus pada hitungan aritmetika saja, maka
saat ini, guru-guru harus meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar dengan
menggunakan logika matematis.
Sekedar
diketahui bahwa matematika bukan hanya sekadar aktivitas penjumlahan,
pengurangan, pembagian, dan perkalian karena bermatematika di zaman sekarang
harus aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan hidup modern. Karena itu, materi
matematika bukan lagi sekadar aritmetika tetapi beragam jenis topik dan
persoalan yang akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Dari aspek
psikologi, menurut psikolog Alva Handayani, peranan orang tua pun dibutuhkan
untuk mengatasi fobia matematika. Menurutnya, mengajar matematika bukan sekadar
mengenal angka dan menghafalnya namun bagaimana anak memahami makna
bermatematika. Orang tua harus memberi kesempatan anak untuk bereksplorasi,
observasi dalam keadaan rileks. Para orang tua tidak perlu khawatir dengan
kemampuan matematika para putra-putri mereka. Yang terpenting dalam menumbuhkan
cinta anak pada matematika adalah terbiasanya anak menemukan konsep matematika
melalui permainan dalam suasana santai di rumah dalam rangka mempersiapkan masa
depan anak.
“Jika anak
sering menemukan orang tua menggunakan konsep matematika, anak akan menangkap
informasi tersebut dan akan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti, pengaturan uang saku dan tabungan hingga pengaturan jadwal kereta api
atau penerbangan,”
Tetapi, yang
penting untuk diketahui dan dijadikan pegangan adalah bahwa matematika itu
merupakan ilmu dasar dari pengembangan sains (basic of science) dan sangat
berguna dalam kehidupan. Dalam perdagangan kecil-kecilan saja, orang dituntut
untuk mengerti aritmetika minimal penjumlahan dan pengurangan. Bagi
pegawai/karyawan perusahaan harus mengerti waktu/jam, Bendaharawan suatu
perusahaan harus memahami seluk beluk keuangan. Ahli agama, politikus, ekonom,
wartawan, petani, ibu rumah tangga, dan semua manusia “sebenarnya” dituntut
menyenangi matematika yang kemudian berupaya untuk belajar dan memahaminya,
mengingat begitu pentingnya dan banyaknya peran matematika dalam kehidupan
manusia.
Fakta menunjukkan, tidak sedikit siswa sekolah yang
masih menganggap matematika adalah pelajaran yang bikin “stress”, membuat
pikiran bingung, menghabiskan waktu dan cenderung hanya mengotak-atik rumus
yang tidak berguna dalam kehidupan. Akibatnya, matematika dipandang sebagai
ilmu yang tidak perlu dipelajari dan dapat diabaikan. Selain itu, hal ini juga
didukung dengan proses pembelajaran di sekolah yang masih hanya berorientasi
pada pengerjaan soal-soal latihan saja. Hampir belum pernah dijumpai proses
pembelajaran matematika dikaitkan langsung dengan kehidupan nyata. Menyikapi
hal ini, menurut hemat penulis dalam rangka menyelamatkan “nyawa” matematika, maka
satu hal yang segera dilakukan adalah bagaimana membuat siswa senang untuk
belajar matematika?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar