Pembahasan tentang Pemikiran Politik Plato
Dari
sebagian besar karya Plato, terlihat bahwa pemikiran politik Plato sangat jauh
dari asumsi-asumsi yang dianggap
sentral bagi tradisi pemikiran liberal dan demokratis. Padahal tradisi
liberal dan demokratis ini sendiri justru yang sekarang mendominasi filsafat
politik.
Plato
jelas mengeritik kesetaraan demokratis dan kebebasan dalam Republic Buku VIII.
Kritik serupa terlihat di Buku VI, dalam analogi antara kewarganegaraan
dan keterampilan kelautan,
sebuah tema yang
dielaborasi lewat investigasi keterampilan politik di
Statesman.
Orang
harus berusaha dengan susah payah, untuk menemukan sikap ramah Plato terhadap
hal-hal seperti kesetaraan umat manusia, kebebasan kesadaran, hak partisipasi dalam
politik, pemerintahan terbatas,
saluran konstitusional, dan sebagainya. Ide-ide
utama Plato adalah:
pemerintahan oleh filsuf,
penghapusan institusi keluarga dan harta milik, dan kebohongan terhormat
(noble lies).
Dengan
memberi perlakuan istimewa pada satu kelompok tertentu untuk berkuasa
–yakni, kaum wali
dan para filsuf jelas pilihan Plato
ini bertentangan dengan semangat
kebebasan dan demokratis, yang menuntut kesetaraan bagi seluruh warganegara.
Bolehnya
pemerintah atau penguasa berbohong kepada rakyat, dengan menciptakan
mitos-mitos palsu, dan menjejalkannya kepada generasi muda lewat indoktrinasi
di lembaga-lembaga pendidikan, juga tidak bisa diterima dalam tradisi pemikiran
demokratis.
Di
Amerika dan sejumlah negara Eropa, ada hak warganegara untuk memperoleh
informasi yang benar. Pemberian informasi yang keliru secara sengaja kepada
warganegara akan dipandang sebagai pelanggaran
etika plitik, dan secara moral tak bisa diterima. Kasus
Presiden George W. Bush, yang membohongi rakyat Amerika tentang adanya senjata
pemusnah massal di Irak, sebagai dalih untuk invasi militer ke Irak, sampai
saat ini terus nenuai kecaman pedas.
Selain
itu, institusi pendidikan yang sengaja difungsikan untuk mengajarkan kebohongan,
bukan saja bertentangan dengan hak-hak demokratis warga, tetapi juga
bertentangan dengan semangat ilmu filsafat untuk mencari kebenaran.
Meski
demikian, pemerintahan oleh para filsuf bukanlah sesuatu ide yang mustahil diwujudkan.
Republik Plato, tidak seperti Utopia-Utopia modern, tampaknya dimaksudkan untuk
betul-betul terwujud. Pada masa itu, mungkin impian Plato ini tidak sefantastis
yang kita bayangkan, jika
melihat contoh yang sudah
dilakukan Sparta. Kekuasaan oleh
para filsuf telah diusahakan oleh Pythagoras. Di zaman Plato, Archytas yang
menuruti ajaran Pythagoras juga secara politik berpengaruh di wilayah Taras,
ketika Plato mengunjungi Sicily dan Italia selatan.
Adalah
praktik umum bagi kota-kota waktu itu untuk mempekerjakan seorang bijak
(filsuf) untuk merancang undang-undang mereka. Solon telah melakukan hal ini
untuk orang Athena,
dan Protagoras untuk
Thurii. Koloni-koloni pada
masa itu sepenuhnya bebas
dari kendali kota-kota
induknya, dan kondisi
itu akan cukup memungkinkan bagi sekelompok penganut
ajaran Plato untuk mendirikan Republik
(dengan
pemerintahan para filsuf) di pesisir Spanyol atau Gaul.
Sayangnya,
Plato kebetulan justru pergi ke Syracuse, sebuah kota perdagangan yang terlibat
dalam perang berkepanjangan dengan
Carthage. Dalam atmosfir semacam itu, tak seorang filsuf pun
yang bisa mencapai banyak hal. Pada generasi berikutnya, bangkitnya Macedonia
membuat semua negara kecil jadi usang, dan menyebabkan kerapuhan pada setiap
eksperimen politik dalam versi miniatur.
Patut
dicatat, pemikiran politik Plato sendiri sebenarnya juga mengalami pergeseran.
Dalam karyanya Laws, misalnya, Plato kemudian bersikap lebih ramah pada
demokrasi, karena ia mengadopsi metafisika tentang nilai, yang mengakui
sumber-sumber epistemologis dari kalangan non-filsuf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar