Sabtu, 03 Desember 2016

Pembahasan tentang Pemikiran Politik Plato

Pembahasan tentang Pemikiran Politik Plato

Dari sebagian besar karya Plato, terlihat bahwa pemikiran politik Plato sangat jauh dari asumsi-asumsi  yang dianggap sentral  bagi tradisi pemikiran  liberal dan demokratis. Padahal tradisi liberal dan demokratis ini sendiri justru yang sekarang mendominasi filsafat politik.
Plato jelas mengeritik kesetaraan demokratis dan kebebasan dalam Republic Buku VIII. Kritik serupa terlihat di Buku VI, dalam analogi antara kewarganegaraan dan   keterampilan   kelautan,   sebuah   tema   yang   dielaborasi   lewat   investigasi keterampilan politik di Statesman.
Orang harus berusaha dengan susah payah, untuk menemukan sikap ramah Plato terhadap hal-hal seperti kesetaraan umat manusia, kebebasan kesadaran, hak partisipasi   dalam   politik,   pemerintahan   terbatas,   saluran   konstitusional,   dan sebagainya.  Ide-ide  utama  Plato  adalah:  pemerintahan  oleh  filsuf,  penghapusan institusi keluarga dan harta milik, dan kebohongan terhormat (noble lies).
Dengan memberi perlakuan istimewa pada satu kelompok tertentu untuk berkuasa –yakni,  kaum  wali  dan  para filsuf jelas  pilihan Plato  ini  bertentangan dengan semangat kebebasan dan demokratis, yang menuntut kesetaraan bagi seluruh warganegara.
Bolehnya pemerintah atau penguasa berbohong kepada rakyat, dengan menciptakan mitos-mitos palsu, dan menjejalkannya kepada generasi muda lewat indoktrinasi di lembaga-lembaga pendidikan, juga tidak bisa diterima dalam tradisi pemikiran demokratis.
Di Amerika dan sejumlah negara Eropa, ada hak warganegara untuk memperoleh informasi yang benar. Pemberian informasi yang keliru secara sengaja kepada warganegara akan  dipandang sebagai  pelanggaran  etika plitik,  dan  secara moral tak bisa diterima. Kasus Presiden George W. Bush, yang membohongi rakyat Amerika tentang adanya senjata pemusnah massal di Irak, sebagai dalih untuk invasi militer ke Irak, sampai saat ini terus nenuai kecaman pedas.
Selain itu, institusi pendidikan yang sengaja difungsikan untuk mengajarkan kebohongan, bukan saja bertentangan dengan hak-hak demokratis warga, tetapi juga bertentangan dengan semangat ilmu filsafat untuk mencari kebenaran.
Meski demikian, pemerintahan oleh para filsuf bukanlah  sesuatu ide yang mustahil diwujudkan. Republik Plato, tidak seperti Utopia-Utopia modern, tampaknya dimaksudkan untuk betul-betul terwujud. Pada masa itu, mungkin impian Plato ini tidak  sefantastis  yang kita bayangkan,  jika melihat  contoh  yang sudah  dilakukan Sparta.  Kekuasaan oleh para filsuf telah diusahakan oleh Pythagoras. Di zaman Plato, Archytas yang menuruti ajaran Pythagoras juga secara politik berpengaruh di wilayah Taras, ketika Plato mengunjungi Sicily dan Italia selatan.
Adalah praktik umum bagi kota-kota waktu itu untuk mempekerjakan seorang bijak (filsuf) untuk merancang undang-undang mereka. Solon telah melakukan hal ini untuk  orang  Athena,  dan  Protagoras  untuk  Thurii.  Koloni-koloni  pada  masa  itu sepenuhnya  bebas  dari  kendali  kota-kota  induknya,  dan  kondisi  itu  akan  cukup memungkinkan bagi sekelompok penganut ajaran Plato untuk mendirikan Republik
(dengan pemerintahan para filsuf) di pesisir Spanyol atau Gaul.
Sayangnya, Plato kebetulan justru pergi ke Syracuse, sebuah kota perdagangan yang  terlibat  dalam  perang  berkepanjangan  dengan  Carthage.  Dalam  atmosfir semacam itu, tak seorang filsuf pun yang bisa mencapai banyak hal. Pada generasi berikutnya, bangkitnya Macedonia membuat semua negara kecil jadi usang, dan menyebabkan kerapuhan pada setiap eksperimen politik dalam versi miniatur.
Patut dicatat, pemikiran politik Plato sendiri sebenarnya juga mengalami pergeseran. Dalam karyanya Laws, misalnya, Plato kemudian bersikap lebih ramah pada demokrasi, karena ia mengadopsi metafisika tentang nilai, yang mengakui sumber-sumber epistemologis dari kalangan non-filsuf.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar