Yang “Ideal” dan Utopia dalam Republik Plato
Pemikiran
politik Plato yang dituangkan dalam Republic memancing banyak pemikir di
berbagai generasi sesudahnya untuk menanggapi. Banyak yang memuji pemikiran
Plato di sini, tapi tak sedikit pula yang mengeritiknya.
Dua pemikir zaman Victoria, John Stuart Mill dan
Benjamin Jowett, memberi apresiasi khusus pada Plato. Yang dikagumi Mill dari
Plato bukan hanya tentang oposisi Plato terhadap hal-hal yang umum dan
konvensional, namun juga ide tentang tata kelola pemerintahan yang ilmiah, yang
terwujud dalam inti kaum profesional, dari kalangan warganegara yang terdidik
secara liberal.
Jowett
sebaliknya memandang, keterampilan yang dituntut Plato dari kalangan elite berkuasa
sudah bersifat metafisika
dunia lain. Plato
beranggapan bahwa
penguasa-penguasa terbaik adalah mereka yang kehidupan politiknya bertentangan
dengan personalitas dan kepentingan mereka yang sebenarnya. Terdapat ketegangan
yang tak tertuntaskan dalam pemikiran Plato, antara daya tarik filsafat dan
tuntutan keadilan.
Malcolm Schofield
membela utopianisme, sebagaimana
yang dijabarkan Plato, sebagai
elemen yang didambakan dan tak terhindarkan dari refleksi politis yang
sistematis. Schofield merumuskan utopia sebagai pemikiran tentang sebuah cetak biru bagi dunia yang
didambakan, yang --meskipun ditempatkan dalam keprihatinan masa sekarang,
dengan berbagai pertanyaannya tentang kepraktisan dan legitimasi
(pemikiran utopia itu)
tidak harus disisihkan,
namun bisa dipandang
sebagai (alternatif yang) sekunder.
Namun, apa
yang akan dicapai
oleh Republik Plato?
Menurut Bertrand Russell, jawaban
pertanyaan ini agak
menjemukan. Republik ini
akan mencapai sukses dalam perang
melawan populasi yang kira-kira sama jumlahnya, dan negara ini akan mengamankan
nafkah untuk sejumlah kecil orang. Namun, negara Plato ini juga jelas tidak
akan menghasilkan karya seni atau sains, karena kekakuannya.
Dalam hal
ini, negara Plato akan mirip Sparta.
Meskipun banyak omongan tentang hal-hal lain yang muluk, yang akan
dicapai akhirnya hanyalah keterampilan dalam perang dan punya cukup makanan
untuk dimakan. Plato pernah mengalami masa kelaparan dan kekalahan di Athena,
sehingga mungkin tanpa sadar ia berpikir, menghindari bencana semacam itu
adalah prestasi terbaik yang bisa
dicapai para negarawan.
Sebuah
Utopia, jika secara serius diniatkan, jelas akan mewujudkan gagasan ideal si
penciptanya. Dalam hal ini, Russell mencoba menjelaskan makna ideal. Pada
awalnya, ideal adalah sesuatu yang diinginkan oleh mereka yang
mempercayainya. Namun, ideal itu
tidak didambakan dengan
cara yang sama seperti orang menginginkan kenyamanan
personal, seperti makanan dan rumah tempat bernaung. Yang membedakan
sebuah ideal dengan
sebuah obyek dambaan
biasa adalah yang pertama bersifat impersonal. Ideal adalah sesuatu yang
--kita anggap saja-- tidak memiliki rujukan khusus ke ego dari orang yang
merasakan dambaan tersebut, dan karena itu secara teoritis dapat didambakan
oleh setiap orang.
Jadi,
kita mungkin merumuskan sebuah ideal sebagai sesuatu yang didambakan dan
tidak bersifat egosentris, sehingga
orang yang mendambakannya patut
berharap, orang lain juga akan mendambakan hal serupa. Dengan cara ini, orang
bersangkutan bisa membangun
sesuatu yang seolah-olah
seperti etika yang impersonal. Walaupun,
faktanya ideal itu
didirikan di atas
landasan personal, berupa hasrat
dan dambaan dari pribadi si orang bersangkutan. Selain itu, mungkin saja
terjadi konflik antara ideal-ideal yang murni bersifat impersonal. Pahlawannya
Nietzsche berbeda dengan figur seorang suci Kristiani, walaupun secara
impersonal keduanya sama-sama dikagumi, yang pertama oleh para pendukung
pemikiran Nietzsche, dan yang kedua oleh para penganut Kristiani.
Bagaimana kita bisa
memilih satu di
antara dua figur
pahlawan ini, kecuali berdasarkan dambaan kita sendiri?
Jika tak
ada landasan pertimbangan lain, maka suatu ketidaksepakatan etis hanya dapat
diputuskan lewat imbauan emosional atau kekuasaan. Tentang masalah fakta, kita
bisa saja mengharapkan
bantuan sains dan
metode ilmiah observasi. Namun, tentang
pertanyaan puncak etika,
tampaknya tidak ada
yang bisa dianalogikan. Maka,
jika ini benar terjadi, peselisihan etis akan diselesaikan lewat pertarungan
kekuasaan, termasuk lewat kekuatan propaganda.
Cara pandang
ini, dalam bentuknya
yang kasar, diajukan
dalam bagian pertama buku
Republic oleh tokoh Thrasymachus, yang seperti tokoh-tokoh lain dalam dialog-dialog
Plato adalah tokoh yang benar-benar ada. Ia adalah seorang Sophis dari
Chalcedon, dan guru
retorika terkenal. Thrasymachus
menyatakan, Keadilan adalah tak lain dari kepentingan pihak yang lebih
kuat.
Ucapan
Thrasymachus ini mengangkat pertanyaan mendasar dalam etika dan politik: Apakah
ada standar tentang baik dan buruk, kecuali berdasarkan apa yang didambakan
oleh orang yang menggunakan kata-kata tersebut? Jika tidak ada standar semacam
itu, banyak konsekuensi dari ucapan Thrasymachus tersebut tidak bisa kita
hindari.
Pada
titik ini, agama pada pada pandangan sekilas pertama memberi jawaban sederhana.
Tuhan menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. Orang yang kehendaknya selaras
dengan kehendak Tuhan
adalah orang yang
baik. Namun jawaban ini tidak
sangat ortodoks.
Para
teolog mengatakan, Tuhan itu baik, dan ini berarti ada standar kebaikan yang
independen dari kehendak Tuhan. Maka kita dipaksa untuk menghadapi
pertanyaan: Apakah ada
kebenaran atau kekeliruan obyektif di
dalam pernyataan seperti
kenikmatan itu baik, dalam arti yang
sama seperti pernyataan salju itu putih? Untuk menjawabnya, diperlukan diskusi
panjang.
Beberapa orang
mungkin berpikir bahwa
demi pertimbangan praktis,
kita dapat menghindari pertanyaan fundamental itu, dengan mengatakan,
kita tak tahu apa yang dimaksud dengan kebenaran obyektif. Namun, kita akan
menganggap sesuatu itu benar, jika semua atau tampaknya semua yang
menyelidikinya sepakat tentang hal tersebut.
Namun,
selanjutnya kita kemudian menghadapi pertanyaan tentang fakta: Apakah ada
pernyataan-pernyataan semacam itu yang disepakati dalam hal etika? Jika ada,
maka pernyataan-pernyataan itu bisa dijadikan landasan bagi aturan perilaku
perorangan, atau untuk teori politik.
Sebaliknya,
jika tidak ada, maka kita dipaksa untuk masuk ke ranah praktik. Tanpa
mempersoalkan lagi kebenaran filosofis, kita akan beradu dengan kekuatan atau
propaganda atau kedua-duanya, manakala terdapat perbedaan etis yang tak bisa
dipertemukan antara kelompok-kelompok yang berkuasa.
Bagi
Plato, pertanyaan ini tidak benar-benar ada. Walau rasa dramatiknya
menggiringnya dengan kuat
ke posisi Thrasymachus,
ia tak begitu
sadar akan kekuatan posisi
Thrasymachus dan membiarkan diri secara kurang adil menentang posisi itu. Plato
yakin bahwa ada yang namanya Yang
Baik, dan bahwa hakikat Yang Baik
itu dapat dipastikan. Jika ada orang yang tidak sepakat dengannya, salah satu
dari mereka sedikitnya telah membuat kesalahan intelektual. Sama halnya dengan
jika ketidaksepakatan itu bersifat ilmiah, tentang beberapa hal yang terkait
soal fakta.
Perbedaan
antara Plato dan Thrasymachus sangat penting. Namun, bagi sejarawan filsafat,
ini hanya sekadar catatan. Plato berpikir, ia dapat membuktikan bahwa
Republic idealnya itu baik.
Sebaliknya, seorang demokrat yang
menerima obyektivitas etika mungkin berpikir bahwa ia dapat membuktikan
Republik itu buruk. Tetapi, bagi siapa saja yang setuju dengan Thrasymachus
akan mengatakan: Masalahnya bukan soal membuktikan atau tidak membuktikan.
Satu-satunya pertanyaan adalah, apakah anda menyukai Negara yang didambakan
Plato. Jika jawabannya ya, itu artinya baik untuk Anda. Jika Anda tak
menyukainya, berarti itu buruk untuk Anda. Jika banyak yang setuju dan banyak
juga yang tidak setuju, keputusan tak bisa diambil berdasarkan nalar, tetapi
hanya dengan kekuatan, baik secara terang-terangan atau terselubung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar