Sabtu, 03 Desember 2016

Yang “Ideal” dan Utopia dalam Republik Plato

Yang “Ideal” dan Utopia dalam Republik Plato

Pemikiran politik Plato yang dituangkan dalam Republic memancing banyak pemikir di berbagai generasi sesudahnya untuk menanggapi. Banyak yang memuji pemikiran Plato di sini, tapi tak sedikit pula yang mengeritiknya.
Dua  pemikir zaman Victoria, John Stuart Mill dan Benjamin Jowett, memberi apresiasi khusus pada Plato. Yang dikagumi Mill dari Plato bukan hanya tentang oposisi Plato terhadap hal-hal yang umum dan konvensional, namun juga ide tentang tata kelola pemerintahan yang ilmiah, yang terwujud dalam inti kaum profesional, dari kalangan warganegara yang terdidik secara liberal.
Jowett sebaliknya memandang, keterampilan yang dituntut Plato dari kalangan elite  berkuasa  sudah  bersifat  metafisika  dunia  lain.  Plato  beranggapan  bahwa penguasa-penguasa terbaik adalah mereka yang kehidupan politiknya bertentangan dengan personalitas dan kepentingan mereka yang sebenarnya. Terdapat ketegangan yang tak tertuntaskan dalam pemikiran Plato, antara daya tarik filsafat dan tuntutan keadilan.
Malcolm  Schofield  membela  utopianisme,  sebagaimana  yang  dijabarkan Plato, sebagai elemen yang didambakan dan tak terhindarkan dari refleksi politis yang sistematis. Schofield merumuskan utopia sebagai pemikiran  tentang sebuah cetak biru bagi dunia yang didambakan, yang --meskipun ditempatkan dalam keprihatinan masa sekarang, dengan berbagai pertanyaannya tentang kepraktisan dan legitimasi (pemikiran  utopia  itu)  tidak  harus  disisihkan,  namun  bisa  dipandang  sebagai (alternatif yang) sekunder.
Namun,  apa  yang  akan  dicapai  oleh  Republik  Plato?  Menurut  Bertrand Russell,  jawaban  pertanyaan  ini  agak  menjemukan.  Republik  ini  akan  mencapai sukses dalam perang melawan populasi yang kira-kira sama jumlahnya, dan negara ini akan mengamankan nafkah untuk sejumlah kecil orang. Namun, negara Plato ini juga jelas tidak akan menghasilkan karya seni atau sains, karena kekakuannya.
Dalam hal ini, negara Plato akan mirip Sparta.   Meskipun banyak omongan tentang hal-hal lain yang muluk, yang akan dicapai akhirnya hanyalah keterampilan dalam perang dan punya cukup makanan untuk dimakan. Plato pernah mengalami masa kelaparan dan kekalahan di Athena, sehingga mungkin tanpa sadar ia berpikir, menghindari bencana semacam itu adalah prestasi terbaik  yang bisa dicapai para negarawan.
Sebuah Utopia, jika secara serius diniatkan, jelas akan mewujudkan gagasan ideal si penciptanya. Dalam hal ini, Russell mencoba menjelaskan makna ideal. Pada awalnya, ideal adalah sesuatu yang diinginkan oleh mereka yang mempercayainya.  Namun,  ideal itu  tidak  didambakan  dengan  cara  yang  sama seperti orang menginginkan kenyamanan personal, seperti makanan dan rumah tempat bernaung. Yang  membedakan  sebuah  ideal  dengan  sebuah  obyek  dambaan  biasa adalah yang pertama bersifat impersonal. Ideal adalah sesuatu yang --kita anggap saja-- tidak memiliki rujukan khusus ke ego dari orang yang merasakan dambaan tersebut, dan karena itu secara teoritis dapat didambakan oleh setiap orang.
Jadi, kita mungkin merumuskan sebuah ideal sebagai sesuatu yang didambakan dan tidak  bersifat egosentris, sehingga orang  yang mendambakannya patut berharap, orang lain juga akan mendambakan hal serupa. Dengan cara ini, orang bersangkutan   bisa   membangun   sesuatu   yang   seolah-olah   seperti   etika   yang impersonal.  Walaupun,  faktanya  ideal  itu  didirikan  di  atas  landasan  personal, berupa hasrat dan dambaan dari pribadi si orang bersangkutan. Selain itu, mungkin saja terjadi konflik antara ideal-ideal yang murni bersifat impersonal. Pahlawannya Nietzsche berbeda dengan figur seorang suci Kristiani, walaupun secara impersonal keduanya sama-sama dikagumi, yang pertama oleh para pendukung pemikiran Nietzsche, dan yang kedua oleh para penganut Kristiani. Bagaimana  kita  bisa  memilih  satu  di  antara  dua  figur  pahlawan  ini,  kecuali berdasarkan dambaan kita sendiri?
Jika tak ada landasan pertimbangan lain, maka suatu ketidaksepakatan etis hanya dapat diputuskan lewat imbauan emosional atau kekuasaan. Tentang masalah fakta,  kita  bisa  saja  mengharapkan  bantuan  sains  dan  metode  ilmiah  observasi. Namun,   tentang   pertanyaan   puncak   etika,   tampaknya   tidak   ada   yang   bisa dianalogikan. Maka, jika ini benar terjadi, peselisihan etis akan diselesaikan lewat pertarungan kekuasaan, termasuk lewat kekuatan propaganda.
Cara  pandang  ini,  dalam  bentuknya  yang  kasar,  diajukan  dalam  bagian pertama buku Republic oleh tokoh Thrasymachus, yang seperti tokoh-tokoh lain dalam dialog-dialog Plato adalah tokoh yang benar-benar ada. Ia adalah seorang Sophis  dari  Chalcedon,  dan  guru  retorika  terkenal.  Thrasymachus  menyatakan, Keadilan adalah tak lain dari kepentingan pihak yang lebih kuat.

Ucapan Thrasymachus ini mengangkat pertanyaan mendasar dalam etika dan politik: Apakah ada standar tentang baik dan buruk, kecuali berdasarkan apa yang didambakan oleh orang yang menggunakan kata-kata tersebut? Jika tidak ada standar semacam itu, banyak konsekuensi dari ucapan Thrasymachus tersebut tidak bisa kita hindari.
Pada titik ini, agama pada pada pandangan sekilas pertama memberi jawaban sederhana. Tuhan menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. Orang yang kehendaknya  selaras  dengan  kehendak  Tuhan  adalah  orang  yang  baik.  Namun jawaban ini tidak sangat ortodoks.
Para teolog mengatakan, Tuhan itu baik, dan ini berarti ada standar kebaikan yang independen dari kehendak Tuhan. Maka kita dipaksa untuk menghadapi pertanyaan:  Apakah  ada  kebenaran  atau kekeliruan  obyektif di  dalam  pernyataan seperti kenikmatan itu baik,  dalam arti yang sama seperti pernyataan salju itu putih? Untuk menjawabnya, diperlukan diskusi panjang.
Beberapa  orang  mungkin  berpikir  bahwa  demi  pertimbangan  praktis,  kita dapat menghindari pertanyaan fundamental itu, dengan mengatakan, kita tak tahu apa yang dimaksud dengan kebenaran obyektif. Namun, kita akan menganggap sesuatu itu benar, jika semua atau tampaknya semua yang menyelidikinya sepakat tentang hal tersebut.
Namun, selanjutnya kita kemudian menghadapi pertanyaan tentang fakta: Apakah ada pernyataan-pernyataan semacam itu yang disepakati dalam hal etika? Jika ada, maka pernyataan-pernyataan itu bisa dijadikan landasan bagi aturan perilaku perorangan, atau untuk teori politik.
Sebaliknya, jika tidak ada, maka kita dipaksa untuk masuk ke ranah praktik. Tanpa mempersoalkan lagi kebenaran filosofis, kita akan beradu dengan kekuatan atau propaganda atau kedua-duanya, manakala terdapat perbedaan etis yang tak bisa dipertemukan antara kelompok-kelompok yang berkuasa.
Bagi Plato, pertanyaan ini tidak benar-benar ada. Walau rasa dramatiknya menggiringnya  dengan  kuat  ke  posisi  Thrasymachus,  ia  tak  begitu  sadar  akan kekuatan posisi Thrasymachus dan membiarkan diri secara kurang adil menentang posisi itu. Plato yakin bahwa ada yang namanya Yang  Baik,  dan bahwa hakikat Yang Baik itu dapat dipastikan. Jika ada orang yang tidak sepakat dengannya, salah satu dari mereka sedikitnya telah membuat kesalahan intelektual. Sama halnya dengan jika ketidaksepakatan itu bersifat ilmiah, tentang beberapa hal yang terkait soal fakta.
Perbedaan antara Plato dan Thrasymachus sangat penting. Namun, bagi sejarawan filsafat, ini hanya sekadar catatan. Plato berpikir, ia dapat membuktikan bahwa Republic  idealnya itu  baik.  Sebaliknya,  seorang demokrat  yang  menerima obyektivitas etika mungkin berpikir bahwa ia dapat membuktikan Republik itu buruk. Tetapi, bagi siapa saja yang setuju dengan Thrasymachus akan mengatakan: Masalahnya bukan soal membuktikan atau tidak membuktikan. Satu-satunya pertanyaan adalah, apakah anda menyukai Negara yang didambakan Plato. Jika jawabannya ya, itu artinya baik untuk Anda. Jika Anda tak menyukainya, berarti itu buruk untuk Anda. Jika banyak yang setuju dan banyak juga yang tidak setuju, keputusan tak bisa diambil berdasarkan nalar, tetapi hanya dengan kekuatan, baik secara terang-terangan atau terselubung.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar