Pemikiran Filsafat Politik Martin Luther
Martin Luther
Jerman melahirkan reformer religius
yang mampu merubah dunia. Sebutan tersebut agaknya pantas disandang oleh tokoh
reformasi gereja, Martin Luther. Martin Luther adalah seorang anak petani dari pasangan
suami-istri Hans dan Margareth Luther. Dilahirkan di kota tambang Eisleben,
Saxon, Jerman pada tahun 1483. Kehidupannya banyak berubah setelah Martin
Luther memasuki biara, dan mulai berkecimpung dalam dunia religi. Perjalanan
hidup Martin Luther selanjutnya tidak dapat dipisahkan dari orang tuanya, Hans
Luther. Segalanya dimulai ketika Karir Hans Luther mulai menanjak dari petani
menjadi wiraswastawan. Orang semacam itu hampir selalu memiliki ambisi yang
lebih besar lagi bagi keturunannya daripada bagi dirinya sendiri. Hans Luther
mendapat profesi ahli hukum bagi puteranya Martin. Atas dasar desakan ayahnya,
Martin Luther memasuki studi ilmu hukum, tetapi setelah beberapa bulan ia
berhenti dan mengasingkan diri disebuah biara. Ayahnya sangat kecewa dan marah,
namun keluhannya sia-sia belaka. Rupanya Martin Luther lebih tertarik pada
dunia religi dibandingkan ilmu hukum. Luther masuk biara Ordo Santo Agustinus
di Efurt pada tahun 1505, ketika berumur 22 tahun. Serikat yang dimasukinya
merupakan salah satu kelompok biarawan yang paling rajin. Ia melaksanakan
panggilannya dengan keinginan dan semangat, hal tersebut tercermin semua
tindakan-tindakannya. Martin Luther menjalankan berbagai bentuk laku tapa
dengan berpuasa secara berlebihan dan berdoa selama berjam-jam sampai larut
malam.
Kecerdesannya membuat pimpinan biara
mengirimkan Martin Luther ke Universitas Wittenberg untuk belajar disana. Pada
tahun 1508, atas ajakan gurunya, Johannes von Staupitz, Luther menjadi pengajar
bidang Filsafat Moral di Universitas Wittenberg yang baru didirikan. Luther
mengajar sambil melanjutkan studi teologinya. Setahun kemudian, Luther
menamatkan sarjana teologinya. Pada tahun 1512, Luther berhasil meraih gelar
doktor dalam bidang teologi dari Universitas yang sama Banyak pengalaman yang
diperoleh Martin Luther diuniversitas tersebut.
Martin Luther mulai melakukan khotbah-khotbahnya, menyampaikan buah
pikiran kepada orang lain. Ia ingin mengembalikan kemurnian asli Agama Nasrani
seperti dalam zaman rasul-rasul, jauh sebelum perkembangan kepausan itu. Bagi
Martin Luther, hakekat agama terletak pada pengalaman batin terutama mistik dan
tidak dapat diedarkan kepada orang terletak pada pengalaman batin terutama
mistik dan tidak diedarkan kepada orang lain.
Martin
Luther dalam Reformasi
Dalam karyanya, Address to the Christian Nobility, diterbitkan pada tahun 1520,
Luther menunjukkan penerimaanya akan prinsip tradisional bahwa kekuasaan
politik terletak pada semua orang dan bahwa mereka yang akan menjalankan harus
melaksanakanya dengan persetujuan rakyat. Karena semua orang kristen “mempunyai
kedudukan yang sama, tidak hanya orang melaksanakan kepuasaan diri berkuasa
dan, tanpa persetujuan dan keputusan orang lain, merasa bisa melakukan segala
sesuatu yang diatasnya kita mempunyai kekuasaan yang sama. Hanya dengan
persetujuan dan penunjukkan masyarakatlah individu bisa menjalankan apa yang
dimiliki secara bersama oleh semua orang.” Pada saat yang sama, Luther juga
berpegangan pada proposisi bahwa kekuasaan politik ditentukan oleh wahyu
sebagaimana pemikir abad sebelumnya, ia tidak melihat adanya inkonsistensi
dalam teori bahwa kekuasaan politik pada saat yan sama adalah dari Tuhan dan
dari rakyat. Namun demikian, karena ia lebih tergantung pada raja untuk
mendapatkan dukungan, ia cenderung menekankan asal usul keagamaan dari otoritas
politik dan mengabaikan peran persetujuan rakyat.
Sebelum
menjelaskan hubungan antara gereja dan negara, Luther berusaha menunjukkan
bahwa baik pendeta atau orang awam, sebagai individu tunduk pada yuridiksi
penuh negara dalam semua masalah yang tidak hanya terbatas pada masalah agama
dan spiritual. Karena kekuasaan sekuler ditentukan oleh Tuhan untuk menghukum
pelaku kejahatan dan melindungi mereka yang mematuhi hukum kita harus
membiarkan mereka bebas melakukan pekerjaan mereka di negara-negara kristen dan
tanpa pilih kasih apakah bagi paus, pendeta, pastur, biawaran, biarawati, dan
orang lain. Otoritas penguasa sekuler ini bahkan mencakup koreksi terhadap
berbagai penyelewengan yang ada dalam organisasi gereja jika reformasi masih
dibutuhkan oleh gereja dan paus gagal menjalanknya maka biarkan orang yang
menjadi anggota sejati dari masyarakat kristen mengambil langkah-langkah sedini
mungkin untuk membangun lembaga yang benar-benar bebas. Tidak ada orang yang
mampu melakukan ini secara lebih baik daripada otoritas sekuler, khususnya
karena mereka adalah sama-sama orang kristen, sama pendeta dan sama mempunyai
otoritas dalam semua hal.
Umumnya
karena perkembangan cepat Lutheranisme di Jerman pendirinya sampai menyatakan
supremasi yurisdiksi negara dalam wiayah gereja meskipun pernyataan-pernyataan
Luther tidak sepenuhnya eksplisit dalam masalah ini, tindakanya adalah jelas.
Ketika keberadaan seorang menteri yang terlatuh secara khusus merupakan keharusan
dan beberapa bentuk organisasi diperlukan untuk menjaga integritas doktrinal
dan memacu pertumbuhan agama baru ia berpaling pada pemerintah sekuler untuk
dukunganya. Karena kesulitan membangun hierarki gereja yang disebebkan oleh
pandanganya yang bias terhadap institusi, dan tidak menerima organisasi
gereja demokratis murnikarena
ketidakepercayaanya pada kekuasaan rakyat ia ahirnya memilih alternatif
sekuler.
Di
bawah sistem Luther ini sebagaimana yang pada ahirnya berjalan pengawas dipilih
oleh raja untuk mengunjungi dan mengawasi jemaah gereja dan memberi pada
pastur-pastur lokal dalam masalah dogma dan administrasi. Terkait erat dengan
wilayah yang selama ini adalah persoalan apaka kekuasaan sekuler perlu
digunakan untuk menekankan bid’ah. Luther pertama-tama mempunyai pandangan
negatif dengan alasan bahwa penguasa tidak mempunyai hak mencampuri kehidupan spiritual seseorang. Ini merupakan
tugas pendeta karena dengan kekuatan duniawi. Namun demikian, kemudian ia
meninggalkan pandangnya ini ketika beberapa sekte fanatik seperti anabaptis,
memahami formula agama baru ”kebebasan individu keristen” secara harpiah dan
mengancam setabilitas agama dinegara-negara dimana luther lanisme menjadi agama
mapan. Kemudian iya mulai berpendapat bahawa pemerintah tidak boleh membiarkan
keyakinan agama subversif karena hal ini menimbulkan sengketa sivil. Otoritas
publik harus menetapkan batas-batas toreransi
bagi keyakinan yang menyimpang
dan harus menggunakan kekuatan ketika batas tersebut dilanggar.
Dukungan Luther pada otoritas sekuler
untuk mengatasi gereja dan menentukan tingkat keseragaman religius mempunyai
konsekuensi penting. Agama yang dulunya mempunyai kekuasaan organisasi gereja
sekarang harus mengandalkan kekuasaan politik yang tidak dihalangi oleh hambatan
intitusi keagamaan tradisional sebagai akibat dari orientasi baru mengenai
persoalan gereja agama ini gereja-gereja luther sebenarnya menjadi gereja
negara yang diatur oleh raja-raja, sangat mirip lembaga sekuler pemerintah
akibat yang jauh dari perkiraan pendirinya. Raja-raja jerman masih mengaambil
keuntungan dari teori baru ini dengan tujuan dengan meningkatkan serta aspirasi
nasionalistik mereka.
Mungkin aspek terpenting dari teori
luther dengan aksi-aksi politiknya adalah doktrinya tentang non restritensi
pada kekuasaan politik. Warga negara, yang menyatakan kewajiban untuk patuh
kepada pemerintah mereka bahkan penguasa tersebut adalah tirani atau menyalah
gunakan jabatanya mereka tidak berhak memberontak. Tidak dibenarkan bagi
seseorang keristen untuk menentang pemerintah dengan alasan apapun. Jika penguasa mentut kepatuhan dalam hal-hal
yang berada di daerah duniawi waraga tidak mempunyai kewajiban moral untuk mematuhinya. Tetapi bahkan dalam kasus
ini ia tidak melakukan perlawanan secara aktif tetapi harus menerima hukuman
yang dijatuhkan padanya atas ketidakpatuhanya.
Kenyataan banhwa pangeran-pangeran
Jerman melakukan aliansi politik dengan kaisar menunjukkan kesulitan teoritis
akan doktrin kpatuahan pasif. Pada ahir tahun 1529 Luther dengan jelas
menunjukkan bahwa ia tidak setuju dengan eksistensi sekarang pangeran kepada
kaisar karena kaisar adalah raja dan pemerintah yang diatas pangeran.
Menentanganya dengan kekuasaan senjata merupakan bentuk penghianatan
pemberontakan persoalan ini menjadi kenyataan pada tahun 1530 ketikan kaisar
khatolik Charles V mengancam untuk memerangi pangeran-pangeran protestan yang
membangkang. Mereka sekarang keberatan dengan restriksi yang ditetapkan Luther
untuk menetapkan eksistensi. Mereka beragumentasi bahwa kaisar dipilih oleh
rakyat Jerman dan menjalankan kekuasaan dengan bekerjasama dan konsekuensinya
dia tidak berhak memaksakan kehendaknya sendiri kepada mereka yang tidak
setujui rakyat. Dengan alasan ini Luther menyatakan bahwa masalah antara para
pangeran dan kaisar adalah masalah legal dan konstitusional yang paling baik
diputuskan oleh hakim daripada teolog perbedaan ini kemudian bersifat samar
tetapi dengan perbedaan ini Luther berusaha mempertahankan integritas doktrin
kepatuhan, meskipun pada saat yang sama mengakui kesulitan politik yang
dihadapinya.
Luther sering sekali dituduh dengan
pemikiran politiknya meski begitu, kita harus inget ia adalah teolog
pertama-pendiri besar keagamaan-dan apapun teori politik yang dikemukakanya
sepenuhnya terkait dengan tujuan keagaamnya. Pemisahan dramatisnya dengan Roma
tidak bisa dibandingakan dengan filsafat sosial dan politik baru manapun
baginya hubungan jiwa manusia dengan Tuhan yang lebih penting daripada
kedudukan manusia ia merasa bahwa jika manusia berada dalam manusia yang sejati
dengan sang pencipta, hubunganya dengaan masyarakat akan beres dengan
sendirinya. Tetapi ia tahu bahwa dalam pencapuran historis antara politik dan
agama pada abad ke-16 pembaruan agama akan tercapai dengan mengabaikan
samaseklai konsiderasi politik.
Radikalisme kegamaan Luther berada
dalam pertentangan yang janggal dengan konserpatisme ekstrimnya dalam masalah
politik dengan semangat ia mempertanyakan dan bahkan menyerang otoritas gereja
tetapi terus menekaknkan kewajiban seseorang untuk mematuhi secara ikhlas
perintah negara. Pada segi agama ia menganjurkan reformasi yang menyeluruh,
tetapi pada segi politik ia mendorong kesabaran dan kepasifan. Namun
kontradiksi yang nampaknya ini bukanya tidak logis dalam sinaran ajaran Luther.
Doktrin teologisnya mungkin bertentangan dengan otoritas gerejawi tetapi konsep
watak mannusianya menuntuk kekuasaan sipil yang kuat. Manusia secara spiritual
berkuasa atas jiwa mereka tetapi pada dasarnya mereka mengalami deprivasi.
Perlu kiranya untuk tetap mengalungkan pedangnya dileher mereka dan meminta
mereka untuk tunduk secara penuh. Karena kan membahayakn tatanan stabilitas
jika orang diberi hak yang bisa diakukan seenaknya untuk menentukan kapan dan
dengan syarat apa mereka tunduk pada kekuasaan sekuler. Tatanan harus dijaga
dengan cara apapun bahkan dengan kejahatan manusia dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar