Sabtu, 03 Desember 2016

Pemikiran Filsafat Politik Martin Luther

Pemikiran Filsafat Politik Martin Luther

Martin Luther
Jerman melahirkan reformer religius yang mampu merubah dunia. Sebutan tersebut agaknya pantas disandang oleh tokoh reformasi gereja, Martin Luther. Martin Luther adalah seorang anak petani dari pasangan suami-istri Hans dan Margareth Luther. Dilahirkan di kota tambang Eisleben, Saxon, Jerman pada tahun 1483. Kehidupannya banyak berubah setelah Martin Luther memasuki biara, dan mulai berkecimpung dalam dunia religi. Perjalanan hidup Martin Luther selanjutnya tidak dapat dipisahkan dari orang tuanya, Hans Luther. Segalanya dimulai ketika Karir Hans Luther mulai menanjak dari petani menjadi wiraswastawan. Orang semacam itu hampir selalu memiliki ambisi yang lebih besar lagi bagi keturunannya daripada bagi dirinya sendiri. Hans Luther mendapat profesi ahli hukum bagi puteranya Martin. Atas dasar desakan ayahnya, Martin Luther memasuki studi ilmu hukum, tetapi setelah beberapa bulan ia berhenti dan mengasingkan diri disebuah biara. Ayahnya sangat kecewa dan marah, namun keluhannya sia-sia belaka. Rupanya Martin Luther lebih tertarik pada dunia religi dibandingkan ilmu hukum. Luther masuk biara Ordo Santo Agustinus di Efurt pada tahun 1505, ketika berumur 22 tahun. Serikat yang dimasukinya merupakan salah satu kelompok biarawan yang paling rajin. Ia melaksanakan panggilannya dengan keinginan dan semangat, hal tersebut tercermin semua tindakan-tindakannya. Martin Luther menjalankan berbagai bentuk laku tapa dengan berpuasa secara berlebihan dan berdoa selama berjam-jam sampai larut malam.
Kecerdesannya membuat pimpinan biara mengirimkan Martin Luther ke Universitas Wittenberg untuk belajar disana. Pada tahun 1508, atas ajakan gurunya, Johannes von Staupitz, Luther menjadi pengajar bidang Filsafat Moral di Universitas Wittenberg yang baru didirikan. Luther mengajar sambil melanjutkan studi teologinya. Setahun kemudian, Luther menamatkan sarjana teologinya. Pada tahun 1512, Luther berhasil meraih gelar doktor dalam bidang teologi dari Universitas yang sama Banyak pengalaman yang diperoleh Martin Luther diuniversitas tersebut.  Martin Luther mulai melakukan khotbah-khotbahnya, menyampaikan buah pikiran kepada orang lain. Ia ingin mengembalikan kemurnian asli Agama Nasrani seperti dalam zaman rasul-rasul, jauh sebelum perkembangan kepausan itu. Bagi Martin Luther, hakekat agama terletak pada pengalaman batin terutama mistik dan tidak dapat diedarkan kepada orang terletak pada pengalaman batin terutama mistik dan tidak diedarkan kepada orang lain.
Martin Luther dalam Reformasi
Dalam karyanya, Address to the Christian Nobility, diterbitkan pada tahun 1520, Luther menunjukkan penerimaanya akan prinsip tradisional bahwa kekuasaan politik terletak pada semua orang dan bahwa mereka yang akan menjalankan harus melaksanakanya dengan persetujuan rakyat. Karena semua orang kristen “mempunyai kedudukan yang sama, tidak hanya orang melaksanakan kepuasaan diri berkuasa dan, tanpa persetujuan dan keputusan orang lain, merasa bisa melakukan segala sesuatu yang diatasnya kita mempunyai kekuasaan yang sama. Hanya dengan persetujuan dan penunjukkan masyarakatlah individu bisa menjalankan apa yang dimiliki secara bersama oleh semua orang.” Pada saat yang sama, Luther juga berpegangan pada proposisi bahwa kekuasaan politik ditentukan oleh wahyu sebagaimana pemikir abad sebelumnya, ia tidak melihat adanya inkonsistensi dalam teori bahwa kekuasaan politik pada saat yan sama adalah dari Tuhan dan dari rakyat. Namun demikian, karena ia lebih tergantung pada raja untuk mendapatkan dukungan, ia cenderung menekankan asal usul keagamaan dari otoritas politik dan mengabaikan peran persetujuan rakyat.
            Sebelum menjelaskan hubungan antara gereja dan negara, Luther berusaha menunjukkan bahwa baik pendeta atau orang awam, sebagai individu tunduk pada yuridiksi penuh negara dalam semua masalah yang tidak hanya terbatas pada masalah agama dan spiritual. Karena kekuasaan sekuler ditentukan oleh Tuhan untuk menghukum pelaku kejahatan dan melindungi mereka yang mematuhi hukum kita harus membiarkan mereka bebas melakukan pekerjaan mereka di negara-negara kristen dan tanpa pilih kasih apakah bagi paus, pendeta, pastur, biawaran, biarawati, dan orang lain. Otoritas penguasa sekuler ini bahkan mencakup koreksi terhadap berbagai penyelewengan yang ada dalam organisasi gereja jika reformasi masih dibutuhkan oleh gereja dan paus gagal menjalanknya maka biarkan orang yang menjadi anggota sejati dari masyarakat kristen mengambil langkah-langkah sedini mungkin untuk membangun lembaga yang benar-benar bebas. Tidak ada orang yang mampu melakukan ini secara lebih baik daripada otoritas sekuler, khususnya karena mereka adalah sama-sama orang kristen, sama pendeta dan sama mempunyai otoritas dalam semua hal.
            Umumnya karena perkembangan cepat Lutheranisme di Jerman pendirinya sampai menyatakan supremasi yurisdiksi negara dalam wiayah gereja meskipun pernyataan-pernyataan Luther tidak sepenuhnya eksplisit dalam masalah ini, tindakanya adalah jelas. Ketika keberadaan seorang menteri yang terlatuh secara khusus merupakan keharusan dan beberapa bentuk organisasi diperlukan untuk menjaga integritas doktrinal dan memacu pertumbuhan agama baru ia berpaling pada pemerintah sekuler untuk dukunganya. Karena kesulitan membangun hierarki gereja yang disebebkan oleh pandanganya yang bias terhadap institusi, dan tidak menerima organisasi gereja  demokratis murnikarena ketidakepercayaanya pada kekuasaan rakyat ia ahirnya memilih alternatif sekuler.
            Di bawah sistem Luther ini sebagaimana yang pada ahirnya berjalan pengawas dipilih oleh raja untuk mengunjungi dan mengawasi jemaah gereja dan memberi pada pastur-pastur lokal dalam masalah dogma dan administrasi. Terkait erat dengan wilayah yang selama ini adalah persoalan apaka kekuasaan sekuler perlu digunakan untuk menekankan bid’ah. Luther pertama-tama mempunyai pandangan negatif dengan alasan bahwa penguasa tidak mempunyai hak mencampuri  kehidupan spiritual seseorang. Ini merupakan tugas pendeta karena dengan kekuatan duniawi. Namun demikian, kemudian ia meninggalkan pandangnya ini ketika beberapa sekte fanatik seperti anabaptis, memahami formula agama baru ”kebebasan individu keristen” secara harpiah dan mengancam setabilitas agama dinegara-negara dimana luther lanisme menjadi agama mapan. Kemudian iya mulai berpendapat bahawa pemerintah tidak boleh membiarkan keyakinan agama subversif karena hal ini menimbulkan sengketa sivil. Otoritas publik harus menetapkan batas-batas toreransi  bagi keyakinan yang  menyimpang dan harus menggunakan kekuatan ketika batas tersebut dilanggar.
Dukungan Luther pada otoritas sekuler untuk mengatasi gereja dan menentukan tingkat keseragaman religius mempunyai konsekuensi penting. Agama yang dulunya mempunyai kekuasaan organisasi gereja sekarang harus mengandalkan kekuasaan politik yang tidak dihalangi oleh hambatan intitusi keagamaan tradisional sebagai akibat dari orientasi baru mengenai persoalan gereja agama ini gereja-gereja luther sebenarnya menjadi gereja negara yang diatur oleh raja-raja, sangat mirip lembaga sekuler pemerintah akibat yang jauh dari perkiraan pendirinya. Raja-raja jerman masih mengaambil keuntungan dari teori baru ini dengan tujuan dengan meningkatkan serta aspirasi nasionalistik mereka.
Mungkin aspek terpenting dari teori luther dengan aksi-aksi politiknya adalah doktrinya tentang non restritensi pada kekuasaan politik. Warga negara, yang menyatakan kewajiban untuk patuh kepada pemerintah mereka bahkan penguasa tersebut adalah tirani atau menyalah gunakan jabatanya mereka tidak berhak memberontak. Tidak dibenarkan bagi seseorang keristen untuk menentang pemerintah dengan alasan apapun.  Jika penguasa mentut kepatuhan dalam hal-hal yang berada di daerah duniawi waraga tidak mempunyai kewajiban moral  untuk mematuhinya. Tetapi bahkan dalam kasus ini ia tidak melakukan perlawanan secara aktif tetapi harus menerima hukuman yang dijatuhkan padanya atas ketidakpatuhanya.
Kenyataan banhwa pangeran-pangeran Jerman melakukan aliansi politik dengan kaisar menunjukkan kesulitan teoritis akan doktrin kpatuahan pasif. Pada ahir tahun 1529 Luther dengan jelas menunjukkan bahwa ia tidak setuju dengan eksistensi sekarang pangeran kepada kaisar karena kaisar adalah raja dan pemerintah yang diatas pangeran. Menentanganya dengan kekuasaan senjata merupakan bentuk penghianatan pemberontakan persoalan ini menjadi kenyataan pada tahun 1530 ketikan kaisar khatolik Charles V mengancam untuk memerangi pangeran-pangeran protestan yang membangkang. Mereka sekarang keberatan dengan restriksi yang ditetapkan Luther untuk menetapkan eksistensi. Mereka beragumentasi bahwa kaisar dipilih oleh rakyat Jerman dan menjalankan kekuasaan dengan bekerjasama dan konsekuensinya dia tidak berhak memaksakan kehendaknya sendiri kepada mereka yang tidak setujui rakyat. Dengan alasan ini Luther menyatakan bahwa masalah antara para pangeran dan kaisar adalah masalah legal dan konstitusional yang paling baik diputuskan oleh hakim daripada teolog perbedaan ini kemudian bersifat samar tetapi dengan perbedaan ini Luther berusaha mempertahankan integritas doktrin kepatuhan, meskipun pada saat yang sama mengakui kesulitan politik yang dihadapinya.
Luther sering sekali dituduh dengan pemikiran politiknya meski begitu, kita harus inget ia adalah teolog pertama-pendiri besar keagamaan-dan apapun teori politik yang dikemukakanya sepenuhnya terkait dengan tujuan keagaamnya. Pemisahan dramatisnya dengan Roma tidak bisa dibandingakan dengan filsafat sosial dan politik baru manapun baginya hubungan jiwa manusia dengan Tuhan yang lebih penting daripada kedudukan manusia ia merasa bahwa jika manusia berada dalam manusia yang sejati dengan sang pencipta, hubunganya dengaan masyarakat akan beres dengan sendirinya. Tetapi ia tahu bahwa dalam pencapuran historis antara politik dan agama pada abad ke-16 pembaruan agama akan tercapai dengan mengabaikan samaseklai konsiderasi politik.
Radikalisme kegamaan Luther berada dalam pertentangan yang janggal dengan konserpatisme ekstrimnya dalam masalah politik dengan semangat ia mempertanyakan dan bahkan menyerang otoritas gereja tetapi terus menekaknkan kewajiban seseorang untuk mematuhi secara ikhlas perintah negara. Pada segi agama ia menganjurkan reformasi yang menyeluruh, tetapi pada segi politik ia mendorong kesabaran dan kepasifan. Namun kontradiksi yang nampaknya ini bukanya tidak logis dalam sinaran ajaran Luther. Doktrin teologisnya mungkin bertentangan dengan otoritas gerejawi tetapi konsep watak mannusianya menuntuk kekuasaan sipil yang kuat. Manusia secara spiritual berkuasa atas jiwa mereka tetapi pada dasarnya mereka mengalami deprivasi. Perlu kiranya untuk tetap mengalungkan pedangnya dileher mereka dan meminta mereka untuk tunduk secara penuh. Karena kan membahayakn tatanan stabilitas jika orang diberi hak yang bisa diakukan seenaknya untuk menentukan kapan dan dengan syarat apa mereka tunduk pada kekuasaan sekuler. Tatanan harus dijaga dengan cara apapun bahkan dengan kejahatan manusia dunia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar