Sabtu, 03 Desember 2016

Problem tentang “Keadilan” versi Plato

Problem tentang “Keadilan” versi Plato

Ada  beberapa  butir  yang  patut  dicatat  tentang  definisi  Plato  mengenai keadilan. Pertama, ada kemungkinan terjadi ketidaksetaraan antara kekuasaan dan pengistimewaan (perlakuan khusus) tanpa keadilan. Kaum wali memiliki semua kekuasaan, karena mereka adalah anggota komunitas yang dianggap paling bijaksana.
Ketidakadilan hanya akan terjadi menurut definisi Plato jika ada orang dari kelas masyarakat lain yang lebih bijaksana dari beberapa kaum wali. Inilah sebabnya Plato menyediakan kemungkinan promosi dan degradasi warganegara, walaupun ia berpikir bahwa keunggulan ganda --karena faktor kelahiran dan pendidikan-- pada sebagian besar kasus akan membuat anak-anak dari keluarga wali lebih unggul dari anak-anak lain.
Jika ada ilmu pemerintahan yang solid, dan lebih ada kepastian bahwa orang akan  mematuhi  resep  ini,  banyak  yang harus  dikomentari  dari  sistem  Plato.  Tak seorang pun berpikir bahwa itu sebuah ketidakadilan, jika kita menempatkan orang terbaik dalam sebuah tim sepakbola, walaupun orang itu memperoleh superioritas yang besar di sana. Sebaliknya, jika sepakbola dikelola secara demokratis seperti gaya pemerintahan Athena, siswa yang akan bermain mewakili universitasnya akan dipilih lewat undian.
Namun, dalam masalah pemerintahan, sulit mengetahui siapa yang memiliki keterampilan terbaik. Selain itu, sangat sulit dipastikan bahwa seorang politisi akan menggunakan keterampilannya semata-mata untuk kepentingan umum ketimbang untuk   kepentingannya   sendiri,   atau   kepentingan   kelas,   partai,   dan   keyakinan
keagamaan tertentu. Hal berikutnya,  apakah  definisi Plato tentang keadilan itu mensyaratkan suatu pengorganisasian oleh negara, baik secara tradisional ataupun --untuk mewujudkan dalam totalitasnya suatu kondisi ideal-- secara etis.
Menurut Plato, keadilan akan terwujud ketika setiap orang melakukan pekerjaan masing-masing. Tetapi, apa pekerjaan masing-masing itu? Di negara seperti Mesir kuno atau kerajaan Inca, pekerjaan seseorang adalah pekerjaan ayahnya, dan begitulah seterusmya diturunkan dari generasi ke generasi, dan tak ada yang mempertanyakan hal itu.
Masalahnya, di negara Plato, tak seorang pun memiliki ayah yang sah. Oleh karena itu,  pekerjaannya harus ditentukan oleh  seleranya sendiri  atau  diatur oleh Negara berdasarkan bakat dan kecerdasannya. Yang terakhir ini memang yang didambakan Plato.   Namun, beberapa jenis pekerjaan, walau sangat membutuhkan keterampilan, mungkin dipandang jahat atau merusak. Seni puisi, misalnya, tidak dipandang mulia di mata Plato.
Tujuan Pemerintah oleh karenanya penting dalam menentukan pekerjaan seseorang.  Walau semua penguasa adalah filsuf, selamanya seorang filsuf tampaknya haruslah seseorang yang memahami dan sepakat dengan Plato.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar