Problem tentang “Keadilan” versi Plato
Ada beberapa
butir yang patut
dicatat tentang definisi
Plato mengenai keadilan. Pertama,
ada kemungkinan terjadi ketidaksetaraan antara kekuasaan dan pengistimewaan
(perlakuan khusus) tanpa keadilan. Kaum wali memiliki semua kekuasaan, karena
mereka adalah anggota komunitas yang dianggap paling bijaksana.
Ketidakadilan
hanya akan terjadi menurut definisi Plato jika ada orang dari kelas masyarakat
lain yang lebih bijaksana dari beberapa kaum wali. Inilah sebabnya Plato
menyediakan kemungkinan promosi dan degradasi warganegara, walaupun ia berpikir
bahwa keunggulan ganda --karena faktor kelahiran dan pendidikan-- pada sebagian
besar kasus akan membuat anak-anak dari keluarga wali lebih unggul dari
anak-anak lain.
Jika ada ilmu
pemerintahan yang solid, dan lebih ada kepastian bahwa orang akan mematuhi
resep ini, banyak
yang harus dikomentari dari
sistem Plato. Tak seorang pun berpikir bahwa itu sebuah
ketidakadilan, jika kita menempatkan orang terbaik dalam sebuah tim sepakbola,
walaupun orang itu memperoleh superioritas yang besar di sana. Sebaliknya, jika
sepakbola dikelola secara demokratis seperti gaya pemerintahan Athena, siswa
yang akan bermain mewakili universitasnya akan dipilih lewat undian.
Namun, dalam
masalah pemerintahan, sulit mengetahui siapa yang memiliki keterampilan
terbaik. Selain itu, sangat sulit dipastikan bahwa seorang politisi akan
menggunakan keterampilannya semata-mata untuk kepentingan umum ketimbang untuk kepentingannya sendiri,
atau kepentingan kelas,
partai, dan keyakinan
keagamaan
tertentu. Hal berikutnya, apakah definisi Plato tentang ―keadilan‖ itu mensyaratkan suatu pengorganisasian oleh negara,
baik secara tradisional ataupun --untuk mewujudkan dalam totalitasnya suatu
kondisi ideal-- secara etis.
Menurut Plato,
keadilan akan terwujud ketika setiap orang melakukan pekerjaan masing-masing.
Tetapi, apa pekerjaan masing-masing itu? Di negara seperti Mesir kuno atau
kerajaan Inca, pekerjaan seseorang adalah pekerjaan ayahnya, dan begitulah
seterusmya diturunkan dari generasi ke generasi, dan tak ada yang
mempertanyakan hal itu.
Masalahnya, di
negara Plato, tak seorang pun memiliki ayah yang sah. Oleh karena itu, pekerjaannya harus ditentukan oleh seleranya sendiri atau
diatur oleh Negara berdasarkan bakat dan kecerdasannya. Yang terakhir
ini memang yang didambakan Plato.
Namun, beberapa jenis pekerjaan, walau sangat membutuhkan keterampilan,
mungkin dipandang jahat atau merusak. Seni puisi, misalnya, tidak dipandang
mulia di mata Plato.
Tujuan Pemerintah
oleh karenanya penting dalam menentukan pekerjaan seseorang. Walau semua penguasa adalah filsuf, selamanya
seorang filsuf tampaknya haruslah seseorang yang memahami dan sepakat dengan
Plato.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar